SARANA PERSEMBAHYANGAN*
Pendahuluan
Ajaran
Agama tidak cukup hanya diketahui dan dimengerti saja, harus dibarengi dengan
penghayatannya, dari semua itu pengamalan dalam bentuk perilaku sehari-hari
kita di dalam bermasyarakat itulah yang paling utama. Semakin sering kita
sembahyang, beryajña, membuat Upakāra hendaknya kita dapat meningkatkan
sikap, moral dan perilaku kita menuju kualitas yang lebih baik dan benar sesuai
dengan kaidah Dharma. Karena setiap Upacāra dan Upakāra yang kita
buat pada dasarnya merupakan penjabaran ajaran agama dan memiliki hakekat
sebagai pembelajaran diri, dalam menata hidup dan kehidupan sehingga
dapat meniti ke tujuan utama kelahiran ini, yaitu ”Mokshartam Jagadhita”
* Disampaikan pada pembinaan SDM Hindu karyawan
PT. Indosat, Tbk, Purwakarta, 13-15 Pebruari 2007
** Penyuluh Agama Hindu Kota Bekasi
Setiap
Upacāra (proses untuk mendekatkan diri dengan Brahman)
agama selalu disertai dengan Upakāra (sarana yang dipakai sebagai media
pemujaan Brahman), baik dalam wujud kecil (sederhana/kanistama),
menengah (madhyama) maupun besar (mewah/uttama), hendaknya dibarengi dengan
memahami akan tujuan Upacāra tersebut dan memahami makna Upakāra nya.
Oleh karena itu Upacāra dan Upakāra harus mengacu kepada sastra-sastra
agama, bukan hanya dilandasi dengan ”Gugon Tuwon, Anak Mula Keto”
Banten
dalam agama Hindu adalah bahasa agama. Ajaran suci Veda sabda suci Tuhan itu
disampaikan kepada umat dalam berbagai bahasa. Ada yang meggunakan bahasa tulis
seperti dalam kitab Veda Samhita disampaikan dengan bahasa Sanskerta, ada
disampaikan dengan bahasa lisan. Bahasa lisan ini sesuai dengan bahasa
tulisnya. Setelah di Indonesia disampaikan dengan bahasa Jawa Kuno dan di Bali
disampaikan dengan bahasa Bali. Disamping itu Veda juga disampaikan dengan
bahasa Mona. Mona artinya diam namun banyak mengandung informasi tentang
kebenaran Veda dan bahasa Mona itu adalah banten. Dalam Lontar Yajña Prakrti
disebutkan: “ sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning
Ida Bhatara, pinaka anda bhuana” artinya: semua jenis banten
(upakāra) adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang
Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung (alam semesta) Demikian pula dalam
Lontar Tegesing Sarwa Banten, dinyatakan: “ Banten mapiteges pakahyunan,
nga; pakahyunane sane jangkep galang” Artinya: Banten itu adalah
buah pemikiran artinya pemikiran yang lengkap dan bersih.
Bila
dihayati secara mendalam, banten merupakan wujud dari pemikiran yang
lengkap yang didasari dengan hati yang tulus dan suci. Mewujudkan banten yang
akan dapat disaksikan berwujud indah, rapi, meriah dan unik mengandung simbol,
diawali dari pemikiran yang bersih, tulus dan suci. Bentuk banten itu mempunyai
makna dan nilai yang tinggi mengandung simbolis filosofis yang mendalam. Banten
itu kemudian dipakai untuk menyampaikan rasa cinta, bhakti dan kasih.
Tujuan Yajña
Tujuan
pokok Yajña, antara lain:
- Untuk
menjabarkan dan menyebarluaskan ajaran Veda yang bersifa rahasia
- Sebagai
sarana menyeberangkan Ātma untuk mencapai Moksha
- Sebagai
sarana untuk menyampaikan permohonan kepada Hyang Widhi.
- Sebagai
sarana untuk menciptakan keseimbangan (tri hita karana).
- Sebagai
sarana untuk menciptakan suasana kesucian dan penebusan dosa.
- Sebagai
sarana pendidikan yang bersifat praktis (Ida Pandita Mpu Jaya
Wijayananda, 2004: 11).
Landasan Yajña:
Setiap
Yajña yang ingin dibuat/diadakan harus memenuhi kriteria yang terdapat dalam
Veda, hal ini dimaksudkan agar yajña tersebut berkualitas Śāttvam, karena hanya
kualitas yajña yang Śāttvamlah yang dapat menghantarkan orang yang mengadakan
yajña mencapai kemanunggalan dengan Brahman, adapun landasan yajña sesuai
dengan Manavadharmasastra, VII.10, yaitu:
- Iksa;
tujuan yang ingin dicapai melalui yajña tersebut harus jelas
- Sakti;
harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan yang dimiliki, baik kualitas
SDM, maupun pendanaannya, jangan sampai meninggalkan hutang.
- Desa;
disesuaikan dengan tempat dimana yajña itu akan dilakukan, kearifan
daerah setempat (lokal genius) harus dihargai sehingga tidak ada kesan pemaksaan
- Kala;
situasi atau keadaan wilayah, masyarakatnya juga harus diperhatikan
sehingga yajña tersebut efektif dan efisien serta bermanfaat positif
- Tattva;
harus merujuk pada ketentuan sastra agama baik Sruti, Smrti, maupun
Nibandha.
Disamping
hal tersebut di atas, agar yajña tersebut berkualitas Śāttvam harus memenuhi
standar/mutu seperti apa yang telah ditetapkan dalam Bhagavadgītā, XVII. 11-14,
yaitu:
l
Sraddha; dilakkan dengan penuh keyakinan dan kemantapan hati
l
Sastra; sesuai dengan petunjukk sastra
l
Gita; terdapat lagu-lagu pujian kepada Hyang Widhi
l
Mantra;terdapat doa-doa pujaan yang dihaturkan untuk memeuliakan Hyang Widhi
l
Lascarya; dilakukan dengan penuh kesadaran dan ketulusan hati
l
Daksina; pemberian penghormatan berupa rsi yajña kepada Sang Sadhaka
(pandita/pinandita)
l
Annaseva; menjamu dengan senang dan tulus setiap tamu dengan makanan dan
minuman yang menyehatkan badan dan rohani
l
Nasmita; tidak ada unsur pamer atau jor-joran.
Tujuan Upacāra
Secara
umum tujuan diadakanya Upacāra menyangkut empat hal, yaitu:
- Yang
bersifat umum dan kepercayaan adalah: untuk melenyakan pengaruh yang
kurang baik; mengundang atau menambahkan pengaruh-pengaruh yang baik dan
memberikan kekuatan; untuk memperoleh tujuan hidup sekala-niskala; sebagai
pernyataan umum yang dimaksud menurut tujuan Upacāra itu sendiri.
- Sebagai
pembinaan moral (budhi) sehingga memungkinkan berkembangnya sifat-sifat:
welas asih dan pengampunan; tahan uji; bebas dari iri hati; meningkatnya
kesucian rohani; wajar dan tenang dalam menghadapi segala cobaan
hidup; suka berderma dan tidak rakus/lobha.
- Untuk
pengembangan kepribadian dari Avidya (kegelapan bati) menuju Vidya
(memiliki pengetahuan) menuju Vijñana (bijaksana) menuju Kstrajña
(kesadaran illahi).
- Untuk
pengembangan spiritual sehingga terbebasnya Ātma dari belenggu
samsara atau manunggaling kawulo lan gusti
Fungsi Upakāra Secara Umum
- Sebagai
linggih dan perwujudan Hyang Widhi
- Sebagai
sarana cetusan angayu bagia (persembahan)
- Seagai
sarana permohonan
- Sebagai
sarana pensucian lahir-batin
Sarana Persembahyangan
Canang Sari
”Canang sari inggih punika sarin kasucian kayun bhakti ring
Hyang Widhi tunggal. Napkala ngaksara kahiwangan-kahiwangan”.- Canang
sari yaitu inti dari pikiran dana niat yang suci sebagai tanda bhakti/hormat
kepada Hyang Widhi ketika ada kekurangan saat sedang menuntut ilmu
kerohanian (lontar Mpu Lutuk Alit). Canang sari adalah suatu Upakāra
/banten yang selalu menyertai atau melengkapi setiap sesajen/persembahan,
segala Upakāra yang dipersiapkan belum disebut lengkap kalau tidak di
lengkapi dengan canang sari, begitu pentingnya sebuah canang sari dalam suatu
Upakāra /bebanten. Apakah sebenarnya makna yang terkandung dalam sebuah canang
sari?. Canang sari sebagai lambang angga sarira serta hidup dan kehidupan.
Yaitu:
ü
Ceper. Ceper adalah sebagai alas dari sebuah canang, yang memiliki
bentuk segi empat. Ceper adalah sebagai lambang angga-sarira (badan), empat
sisi dari pada ceper sebagai lambang/nyasa dari Panca Maha Bhuta, Panca Tan Mantra,
Panca Buddhindriya, Panca Karmendriya. Keempat itulah yang membentuk terjadinya
Angga-sarira (badan wadag) ini.
ü
Beras. Beras atau wija sebagai lambang/nyasa Sang Hyang Ātma , yang
menjadikan badan ini bisa hidup, Beras/wija sebagai lambang benih, dalam setiap
insan/kehidupan diawali oleh benih yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi
Wasa yang berwujud Ātma . Ceper sebagai lambang/nyasa angga-sarira/badan
tiadalah gunanya tanpa kehadiran Sang Hyang Ātma . Tak ubahnya bagaikan benda
mati, yang hanya menunggu kehancurannya. Maka dari itulah di atas sebuah ceper
juga diisi dengan beras, sebagai lambang/nyasa Sang Hyang Ātma . Maka dari
itulah hidup kita di belenggu oleh Citta dan Klesa, Ātma menimbulkan
terjadinya Citta Angga-sarira (badan kasar) menimbulkan terjadinya klesa,
itulah yang menyebabkan setiap umat manusia memiliki kelebihan dan
kekurangannya.
ü
Porosan. Sebuah Porosan terbuat dari daun sirih, kapur/pamor, dan jambe
atau gambir sebagai lambang/nyasa Tri-Premana, Bayu, Sabda, dan Idep
(pikiran, perkataan, dan perbuatan). Daun sirih sebagai lambang warna hitam
sebagai nyasa Bhatara Visnu, dalam bentuk tri-premana sebagai lambang/nyasa
dari Sabda (perkataan), Jambe/Gambir sebagai nyasa Bhatara Brahma, dalam bentuk
Tri-premana sebagai lambang/nyasa Bayu (perbuatan), Kapur/Pamor sebagai
lambang/nyasa Bhatara Iswara, dalam bentuk Tri-premana sebagai lambang/nyasa
Idep (pikiran). Suatu kehidupan tanpa dibarengi dengan Tri-premana dan Tri
Kaya, suatu kehidupan tiadalah artinya, hidup ini akan pasif, karena dari
adanya Tri-premana dan Tri Kaya itulah kita bisa memiliki suatu aktivitas,
tanpa kita memiliki suatu aktivitas kita tidak akan dapat menghadapi badan ini.
Suatu aktivitas akan terwujud karena adanya Tri-Premana ataupun Tri-kaya.
ü
Tebu dan pisang. Di atas sebuah ceper telah diisi dengan beras, porosan,
dan juga diisi dengan seiris tebu dan seiris pisang. Tebu atapun pisang
memiliki makna sebagai lambang/nyasa amrtha. Setelah kita memiliki badan dan
jiwa yang menghidupi badan kita, dan tri Pramana yang membuat kita dapat
memiliki aktivitas, dengan memiliki suatu aktivitaslah kita dapat mewujudkan
Amrtha untuk menghidupi badan dan jiwa ini. Tebu dan pisang adalah sebagai
lambang/ nyasa Amrtha yang diciptakan oleh kekuatan Tri Pramana dan dalam wujud
Tri Kaya.
ü
Sampian Uras. Sampian uras dibuat dari rangkaian janur yang ditata
berbentuk bundar yang biasanya terdiri dari delapan ruas atau helai, yang
melambangkan roda kehidupan dengan Astaa iswaryanya/delapan karakteristik yang
menyertai setiap kehidupan umat manusia. Yaitu : Dahram (Kebijaksanaan),
Sathyam (Kebenaran dan kesetiaan), Pasupati (ketajaman, intelektualitas), kama
(Kesenangan), Eswarya (kepemimpinan), Krodha (kemarahan), Mrtyu (kedengkian,
iri hati, dendam), Kala ( kekuatan). Itulah delapan karakteristik yang dimiliki
oleh setiap umat manusia, sebagai pendorong melaksanakan aktivitas, dalam
menjalani roda kehidupannya.
ü
Bunga. Bunga adalah sebagai lambang/nyasa, kedamaian, ketulusan hati.
Pada sebuah canang bunga akan ditaruh di atas sebuah sampian uras, sebagai
lambang/nyasa di dalam kita menjalani roda kehidupan ini hendaknya selalu
dilandasi dengan ketulusan hati dan selalu dapat mewujudkan kedamaian bagi
setiap insan. Bunga yang baik digunakan sebgai persembahan adalah bunga yang segar,
wangi, utuh, tidak tumbuh dikuburan, belum jatuh dari tangkainya.
ü
Kembang Rampai. Kembang rampai akan ditaruh di atas susunan/rangkaian
bunga-bunga pada suatu canang, kembang rampai memiliki makna sebagai
lambang/nyasa kebijaksanaan. Dari kata kembang rampai memiliki dua arti, yaitu:
kembang berarti bunga dan rampai berarti macam-macam, sesuai dengan arah
pengider-ideran kembang rampai di taruh di tengah sebagai simbol warna
brumbun, karena terdiri dari bermacam-macam bunga. Dari sekian macam bunga,
tidak semua memiliki bau yang harum, ada juga bunga yang tidak memiliki bau,
begitu juga dalam kita menjalani kehidupan ini, tidak selamanya kita akan dapat
menikmati kesenangan adakalanya juga kita akan tertimpa oleh kesusahan, kita
tidak akan pernah dapat terhindar dari dua dimensi kehidupan ini. Untuk itulah
dalam kita menata kehidupan ini. Untuk itulah dalam kita menata kehiupan ini
hendaknya kita memiliki kebijaksanaan.
ü
Lepa. Lepa atau boreh miyik adalah sebagai lambang/nyasa sebagai
sikap dan prilaku yang baik. Boreh miyik/lulur yang harum, lalau seseorang
memaki lulur, pasti akan dioleskan pada kulitnya, jadi lulur sifat di luar yang
dapat disaksikan oleh setiap orang. Yang dapat dilihat ataupun disaksikan oleh
orang lain adalah prilaku kita, karena prilakunyalah seseorang akan disebut
baik ataupun buruk, seseorang akan dikatakan baik apabila dia selalu berbuat
baik, begitu juga sebaliknya seseorang akan dikatakan buruk kalau di selalu
berbuat hal-hal yang tidak baik. Boreh miyik sebagai lambang/nyasa perbuatan
yang baik.
ü
Minyak wangi. Minyak wangi/miyik-miyikan sebagai lambang/nyasa
ketenangan jiwa atau pengendalian diri, minyak wangi biasanya diisi pada sebuah
canang. Sebagai lambang/nyasa di dalam kita menata hidup dan kehidupan ini
hendaknya dapat dijalankan dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang
baik, saya umpamakan seperti air yang tenang, di dalam air yang kita akan dapat
melihat jauh ke dalam air, sekecil apapun benda yang ada dalam air dengan
gampang kita dapat melihatnya. Begitu juga dalam kita menjalani kehidupan ini,
dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang mantap kita akan dapat
menyelesaikan segala beban hidup ini.
Canang adalah
pada dasarnya sebagai wujud dari perwakilan kita untuk menghadap kepada-Nya.
Kalau kita dapat meresapi dan menghayati serta melaksanakannya dalam kehidupan
sehari-hari, seperti apa yang terkandung dalam makna Canang sari di atas, pasti
bhakti kita akan diterima oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dan kita dapat
mengarungi kehidupan ini dengan damai sejahtera sekala niskala.
Air (Tirtha)
Air
merupakan sarana sembahyang yang penting. Ada dua jenis air yang dipakai pada
waktu sembahyang, yaitu air untuk membersihkan mulut dan tangan dalam persiapan
sembahyang, dan air yang nantinya berfungsi sebagai air suci atau tirtha.Tirtha
inipun ada dua macam yaitu tirtha yang didapat dengan memmohon kepada Tuhan dan
tirtha yang dibuat oleh pandita / pinandita dengan puja mantra.
Beberapa
istilah:
- Odaka;
adalah air dalam arti biasa, dapat dipergunakan untuk mencuci tangan,
berkumur, minum, sebagai pelepas dahaga, dan sebagainya.
- Tirtha;
adalah air yang telah disucikan. Kesuciannya bias diperoleh dengan jalan
dimantrai oleh orang yang berwenang dan bias pula dengan jalan mengambil
di suatu tempat tertentu disertai upacara keagamaan. Yang terakhir ini di
beberapa tempat disebit juga wangsuhpada.
Penggunaan
Tirtha:
- Yang
berfungsi sebagai penyucian terhadap tempat, bangunan-bangunan, alat-alat
upacara ataupun diri seseorang. Tirtha ini diperoleh dengan jalan puja
mantra para pandita/pinandita, misalnya tirtha pelukatan, tirtha
pabersihan, prayascita, byakaon, pasupati, tirtha pemlaspas, dsb.
- Yang
berfungsi sebagai penyelesaian dalam upacara persembahyangan.
Umumnya tirtha ini dimohon di suatu pelinggih utama pada suatu pura atau
tempat yang dianggap suci. Tirtha ini sering disebut dengan tirtha
wangsuhpada.
- Yang
berfungsi sebagai penyelesaian upacara kematian, misalnya: tirtha
penembak, pangentas, pralina, dan tirtha pemanah
Pada
intinya maksud dari pemakaian tirtha iniadalah sebagai penyucian secara
lahiriah dan rohani.
Api (Dupa)
Secara
kasat mata dupa adalah sejenis hio yang dibakar sehingga , berasap dan berbau
harum. Wangi dupa dengan nyala apinya adalah lamang deva Agni yang berfungsi
sebagai pendeta, pemimpin upacara, sebagai perantara yang menghubungkan antara
pemuja dengan yang dipuja, sebagai pembasmi segala kekotoran dan pengusir roh
jahat, terakhir sebagai saksi upacara.
Api
memiliki peranan penting dalam upacara-upacara keagamaan. Dalam agama
Hindu setiap upacar didahului dengan menyalakan api, baik api dalam arti biasa,
maupun api yang ada dalam diri sendiri. Api bukan hanya dipakai sebagai
persembahan, tetapi karena sifat-sifat yang dimiliki menyebabkan api mempunyai
beberapa fungsi, yaitu:
- Panasnya
meresap ke segala pelosok, baik di dalam air, tanah, udara,
tumbuh-tumbuhan, ataupun mahluk-mahluk hidup lainnya. Demikian pula
asapnya dapat terangkat sendiri sampai ke angkasa memancarkan sinar
yang putih berkilauan, menyebar ke segala penjuru. Sifat-sifat demikian
menyebabkan api dipakai sebagai perantara antara bumi dan langit, manusia
dengan Tuhan, sesama ciptaan Tuhan dan sebagai pembawa persembahan.
- Sinar
cahayanya, memancar ke segala penjuru menyebabkan api dipakai sebagai
penerangan setiap saat, baik siang, malam, ataupun kegelapan.
- Nyalanya
yang berkobar-kobar akan membakar apa saja yang dilemparkan kepadanya,
sehingga dianggap sebagai pembasmi noda, malapetaka dan penderitaan.
- Api
dengan sebutan deva Agni adalah deva atau sinar suci Tuhan yang selalu
dekat, dapat dilihat dengan nyata oleh manusia menyebabkan api dianggap
sebagai saksi dalam kehidupan.
- Api
selalu dinyalakan di rumah tangga sehingga disebut Grhapati yang
artinya pimpinan atau raja dalam rumah tangga
Perwujudan
Api
- Dupa;
api dengan nyala serta asap yang kecil tetapi jelas. Tergolong dalam ini
adalah peasepan dan sejenisnya. Biasanya dicampur dengan wewangian
sehingga memberikan aroma yang dapat menenangkan pikiran.
- Dipa;
adalah api dengan nyala yang memancarkan sinar cahaya yang terang
benderang. Misalnya, api dari lilin, lampu, lampu listrik dan
sejenisnya.
- Obor;
api dengan nyala yang bsar berkobar-kobar. Termasuk jenis ini adalah obor,
dari perakpak, tombrog (obor dari bambu), dsb.
Bija
Bija
disebut juga gandaksata, berasal dari ganda dan aksata, artinya biji
padi-padian yang utuh dan berbau wangi. Oleh karena itu hendaknya menggunkan
beras yang masih utuh, dicuci bersih, dicampur dengan wangi-wangian. Misalnya
dicampur dengan air cendana dan bunga yang harum. Bija dianggap sebgai simbol
benih yang suci anugrah dari Tuhan dalam wujud Ardhanaresvari. Pemakaiannya hampir
sama dengan pemakian tirtha yaitu ditaburkan pada tempat bangunan yang
dipergunakan dalam suatu upacara sebagai simbol penaburan benih yang suci
yang akan memberikan kesucian.
Pemakaian pada saat selesai
sembahyang akan diletakkan diantar kedua kening. Tempat ini dianggap sebagai
tempat mata ketiga (cudamani). Penempatan bija di sini diharapkan
menumbuhkan dan memberi sinar-sinar kebijaksanaan kepada orang yang
bersangkutan.
Yang diletakkan di pangkal
tenggorokan sebagai simbol penyucian dengan harapan agar mendapatkan
kebahagiaan. Kemudian ditelan sebagai simbol untuk menemukan kesucian rohani
dengan harapan agar memperoleh kesempurnaan hidup.
Demikian
beberapa penjelasan tentang sarana persembahyanagn yang dapat dijelaskan pada
kesempatan ini. Semoga ada manfaatnya. Om santih santih santih Om.
MAKNA
SARANA PERSEMBAHYANGAN
Oleh
: Ni Kadek Putri Noviasih, S.Sos.H
Salah
satu bentuk pengamalan beragama Hindu adalah berbhakti kepada Sang Hyang
Widhi.
Di samping itu pelaksanaan agama juga di laksanakan dengan Karma dan Jnana.
Bhakti,
Karma dan Jnana Marga dapat dibedakan dalam pengertian saja, namun dalam
pengamalannya
ketiga hal itu luluh menjadi satu. Upacara dilangsungkan dengan penuh
rasa
bhakti, tulus dan ikhlas. Untuk itu umat bekerja mengorbankan tenaga, biaya,
waktu
dan
itupun dilakukan dengan penuh keikhlasan.
Kegiatan
upacara ini banyak menggunakan simbol-simbol atau sarana. Simbolsimbol
itu
semuanya penuh arti sesuai dengan fungsinya masing-masing. Berbhakti pada
Tuhan
dalam ajaran Hindu ada dua tahapan, yaitu pemahaman agama dan pertumbuhan
rohaninya
belum begitu maju, dapat menggunakan cara Bhakti yang disebut ”Apara
Bhakti”.
Sedangkan bagi mereka yang telah maju dapat menempuh cara bhakti yang lebih
tinggi
yang disebut ”Para Bhakti”. Apara Bhakti adalah bhakti yang masih banyak
membutuhkan
simbul-simbul dari benda-benda tertentu. Nah sarana-sarana itulah
merupakan
visualisasi dari ajaran-ajaran agama yang tercantum dalam kitab suci.
Menurut
Bhagavadgita IX.26 sarana pokok yang umum digunakan adalah Bunga,
Daun,
Buah, Api dan Air. Dalam kitab-kitab yang lainnya disebutkan pula Api yang
berwujud
“dipa dan dhŭpa”
merupakan sarana pokok juga dalam setiap upacara Agama
Hindu.
Dari unsur-unsur tersebut dibentuklah upakara atau sarana upacara yang telah
berwujud
tertentu dengan fungsi tertentu pula. Meskipun unsur sarana yang dipergunakan
dalam
membuat upakara adalah sama, namun bentuk-bentuk upakaranya adalah berbedabeda
dalam
fungsi yang berbeda-beda pula namun mempunyai satu tujuan sebagai sarana
untuk
memuja Sang Hyang Widhi.
1.
Bunga dan Daun
Arti
bunga dalam Lontar Yadnya Prakerti disebutkan sebagai “... sekare pinaka
katulusan
pikayunan suci”. Artinya, bunga itu sebagai lambang ketulus-ikhlasan pikiran
yang suci.
Bunga sebagai unsur salah satu persembahyangan yang digunakan oleh umat
Hindu
bukan dilakukan tanpa dasar petunjuk kitab suci. Untuk fungsi bunga yang
penting
yaitu ada dua dalam upacara. Berfungsi sebagai simbol, bunga diletakkan
tersembul
pada puncak cakupan kedua belah telapak tangan pada saat menyembah. Setelah
selesai
menyembah bunga tadi biasanya ditujukan di atas kepala atau disumpangkan di
telinga.
Dan fungsi lainnya yaitu bunga sebagai sarana persembahan, maka bunga itu
dipakai
untuk mengisi upakara atau sesajen yang akan dipersembahkan kepada Sang
Hyang
Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya ataupun roh suci leluhur.
2
Dari
bunga dan daun ini dibuat suatu bentuk sarana persembahyangan seperti
Canang
dan Kewangen. Semua sarana persembahyangan tersebut memiliki arti dan makna
yang
dalam dan merupakan perwujudan dari Tattwa Agama Hindu.
Canang
ini merupakan upakara yang akan dipakai sarana persembahan kepada Sang
Hyang
Widhi Wasa atau Bhatara Bhatari leluhur. Unsur - unsur pokok daripada canang
tersebut
adalah:
a.
Porosan terdiri dari pinang, kapur dibungkus dengan sirih.
Dalam
lontar Yadnya Prakerti disebutkan pinang, kapur dan sirih adalah lambang
pemujaan
kepada Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang
Tri
Murti.
b.
Plawa yaitu daun-daunan yang merupakan lambang tumbuhnya pikiran yang hening
dan
suci, seperti yang disebutkan dalam lontar Yadnya Prakerti.
c.
Bunga merupakan lambang keikhlasan
d.
Jejahitan, reringgitan dan tetuwasan adalah lambang ketetapan dan kelanggengan
pikiran.
e.
Urassari yaitu berbentuk garis silang yang menyerupai tampak dara yaitu bentuk
sederhana
dari pada hiasan Swastika, sehingga menjadi bentuk lingkaran Cakra
setelah
dihiasi.
Dalam
Kitab Agastya Parwa disebutkan :
Nihan
ikang kembang tan yogya pujakena ring bhatara: kembang uleren, kembang
ruru
tan inunduh, kembang laywan-laywan ngaranya alewas sekar kembang munggah
ring
sema, nahan ta lwir ning kembang tan yogya pujakena de nika sang satwika.
Artinya
:
Inilah
bunga yang tidak patut dipersembahkan kepada Bhatara, bunga yang berulat,
bunga
yang gugur tanpa diguncang, bunga yang berisi semut, bunga yang layu yaitu
yang
lewat masa mekarnya, bunga yang tumbuh di kuburan. Itulah jenis-jenis bunga
yang
tidak patut dipersembahkan oleh orang baik-baik.
Kewangen
berasal dari bahasa Jawa Kuno, dari kata “Wangi” artinya harum. Kata
wangi
mendapat awalan “ka” dan akhiran “an” sehingga menjadi “kewangian”, lalu
disandikan
menjadi Kewangen, yang artinya keharuman. Dari arti kata kewangen ini sudah
ada
gambaran bagi kita tentang fungsi kewangen untuk mengharumkan nama Tuhan.
Kewangen
adalah nama salah satu sarana sembabyang. Kewangen dibuat dari daun
pisang
atau janur yang berbentuk kojong. Di dalamnya diisi perlengkapan berupa
daundaunan,
hiasan
dari rangkaian janur yang disebut sampian kewangen, bunga, uang kepeng
dan
porosan yang disebut silih asih. Adapun yang dimaksud dengan porosan silih
asih
adalah
dua potong daun sirih yang diisi kapur dan pinang, diatur sedemikian rupa
sehingga
3
bila
digulung akan tampak bolak-balik, yaitu yang satu potong tampak bagian perutnya
dan
satu bagian lagi tampak bagian punggungnya. Dalam persembahyangan kewangen
dipakai
menyembah Ista Dewata. Yaitu aspek Tuhan yang dimohon hadir dalam
persembahyangan
tersebut untuk menerima persembahan atau bakti pemujanya. Karena
kewangen
itu simbul Tuhan maka cara pemakaiannya hendaknya sedemikian rupa
sehingga
muka kewangen berhadapan muka dengan penyembahnya. Hal ini dimaksudkan
agar
antara yang menyembah dengan yang disembah berhadap-hadapan. Yang merupakan
muka
kewangen ialah bagian letak uang kepengnya. Bila uang kepeng sulit didapat
diganti
dengan
uang logam.
2.
Buah
Penggunaan
buah dan jenis-jenis makanan dijadikan rakan banten itu disebutkan
dalam
Lontar Yadnya Prakerti sebagai lambang Widyadara-Widyadhari. Kata Widya
berarti
ilmu pengetahuan dan Dhara artinya merangkul. Widyadhara artinya mereka yang
mampu
menguasai ilmu pengetahuan suci. Ilmu tersebut diwujudkan dalam perbuatan
nyata.
Ini artinya kalau rakan banten tersebut sebagai lambang Widyadhara-Widyadhari
ini
artinya
buah-buahan dan berbagai jenis jajan itu mengandung makna agar rakan banten itu
hasil
sendiri dari pengembangan ilmu pengetahuan tersebut. Buah hasil kebun sendiri,
jajan
hasil kreasi sendiri. Hal itulah yang paling baik untuk dijadikan rakan banten.
Namun
tentu
juga tidak salah bila buah-buahan dan jajan itu dibeli, mungkin karena
kesibukan
sehingga
tidak sempat membuat.
Selain
itu, jika dikaji secara Ilmiah buah sangat bermanfaat bagi kesehatan. Dalam
Bhagawadgita
XIV.6,9,11 disebutkan ada tiga golongan atau sifat makanan menurut ajaran
Weda
yaitu makanan Satwika, Rajasika dan Tamasika. Makanan Satwika adalah segala
jenis
makanan yang meningkatkan kecenderungan manusia menjadi suci, cerah, tenang,
bebas
dari dosa. Yang termasuk makanan ini adalah Sayuran, Buah-buahan, susu, dan
lainlain.
3.
Api
Dalam
persembahyangan Api itu diwujudkan dengan :
Dupa yaitu api dengan nyala serta asap yang kecil
tetapi jelas. Tergolong dalam
ini
adalah peasepan dan sejenisnya. Biasanya dicampur dengan wewangian
sehingga
memberikan aroma yang dapat menenangkan pikiran.
Dipa adalah api dengan nyala yang memancarkan sinar
cahaya yang terang.
Misalnya,
Padipan, api takep, api dari lilin, lampu dan sejenisnya.
Obor yaitu api dengan nyala yang bsar
berkobar-kobar. Termasuk jenis ini adalah
obor,
perakpak, tombrog (obor dari bambu), api tetimpug, dll.
4
Dhupa
dengan nyala apinya lambang Dewa Agni yang berfungsi :
a.
Sebagai pendeta pemimpin upacara
b.
Sebagai perantara yang menghubungkan antara pemuja dengan yang dipuja
c.
Sebagai pembasmi segala kotoran dan pengusir roh jahat
d.
Sebagai saksi upacara dalam kehidupan.
Jika
hubungkan antara sumber-sumber kitab suci tentang penggunaan api sebagai
sarana
persembahyangan dan sarana upacara keagamaan lainnya, memang benar, sudah
searah
meskipun dalam bentuk yang berbeda. Di sinilah letak keluwesan ajaran Hindu
yang
tidak kaku itu, pada bentuk penampilannya tetapi yang diutamakan dalam Agama
Hindu
adalah masalah isi dalam bentuk arah, azas harus tetap konsisten dengan isi
kitab
suci
Weda. Karena itu merubah bentuk penampilan agama sesuai dengan pertumbuhan
zaman
tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Ia harus mematuhi ketentuan-ketentuan
Sastra
Dresta dan Loka Drsta atau : Desa, Kala, Patra dan
Guna.
4.
Air
Air
merupakan sarana persembahyangan yang penting. Ada dua jenis air yang
dipakai
dalam persembahyangan yaitu : Pertama, air untuk membersihkan tubuh, minum,
dll.
Kedua air suci yang disebut Tirtha. Tirtha ini pun ada dua macamnya yaitu
tirtha yang
didapat
dengan memohon kepada Sang Hyang Widhi dan manifestasiNya yang disebut
Wangsuhpada,
dan Tirtha dibuat oleh Pendeta dengan puja. Tirtha berfungsi untuk
membersihkan
diri dari kekotoran maupun kecemaran pikiran. Adapun pemakaiannya
adalah
dipercikkan di kepala, diminum dan diusapkan pada muka, simbolis pembersihan
bayu,
sabda, dan idep. Tirtha bukanlah air biasa, tirtha adalah benda materi yang
sakral
dan
mampu menumbuhkan persanaan, pikiran yang suci. Untuk asal usul kata Tirtha
sesungguhnya
berasal dari bahasa Sansekertha.
Macam-macam
Tirtha untuk melakukan persembahyangan ada dua jenis yaitu tirtha
pembersihan
dan tirtha wangsuhpada. Arti dan makna tirtha ditinjau dari segi
penggunaannya
dapat dibedakan sebagai berikut :
a.
Yang berfungsi sebagai penyucian terhadap tempat, bangunan-bangunan, alat-alat
upacara
ataupun diri seseorang. Tirtha ini diperoleh dengan jalan puja mantra para
Pandita/Pinandita,
misalnya tirtha penglukatan, tirtha pabersihan, prayascita, byakaon,
pasupati,
tirtha pemlaspas, dsb.
b.
Yang berfungsi sebagai penyelesaian dalam upacara persembahyangan. Umumnya
tirtha
ini dimohonkan di suatu pelinggih utama pada suatu pura atau tempat yang
dianggap
suci. Tirtha ini sering disebut dengan tirtha wangsuhpada.
c.
Yang berfungsi sebagai penyelesaian upacara kematian, misalnya: tirtha
penembak,
pangentas,
pralina, dan tirtha pemanah.
5
5.
Bija (Wija)
Mawija
atau
mabija dilakukan setelah usai mathirta, yang merupakan rangkaian
terakhir
dan suatu upacara persembahyangan. Bija disebut juga Gandaksata, berasal dari
Ganda
dan Aksata, artinya biji padi-padian yang utuh dan berbau wangi. Oleh karena
itu
hendaknya
menggunkan beras yang masih utuh, dicuci bersih, dicampur dengan wangiwangian.
Misalnya
dicampur dengan air cendana dan bunga yang harum. Kadangkala juga
dicampur
kunyit sehingga berwarna kuning, maka disebutlah bija kuning.
Wija
atau bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa.
Pada
hakekatnya
yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an yang bersemayam
dalam
diri setiap orang. Mawija mengandung makna menumbuh-kembangkan benih
keSiwa-an
atau
sifat-sifat kedewataan dalam diri seseorang. Benih itu akan bisa tumbuh
dan
berkembang apabila ladangnya bersih dan suci, maka itu mawija dilakukan setelah
Mathirta.
Untuk
tumbuh dan berkembangnya sifat kedewataan itu dalam pikiran dari hati
manusia
maka tempat Mawija itu yang terpenting di dua tempat, yaitu: pada
pikiran dari
hati
itu sendiri, masing-masing dengan cara menempelkan di tengah-tengah kedua
kening
dan
dengan menelannya.
Berikut
ini adalah tulisan tentang rangkuman pada buku arti dan fungsi sarana upakara.
Salah satu bentuk pengamalan beragama Hindu adalah berbhakti kepada Ida Sang
Hyang Widhi Wasa. Disamping itu pelaksanaan agama juga di laksanakan dengan
Karma dan Jnyana. Bhakti, Karma dan Jnyana Marga dapat dibedakan dalam
pengertian saja, namun dalam pengamalannya ketiga hal itu luluh menjadi satu.
Upacara dilangsungkan dengan penuh rasa bhakti, tulus dan ikhlas. Untuk itu
umat bekerja mengorbankan tenaga, biaya, waktu dan itupun dilakukan dengan penuh
keikhlasan.
Untuk melaksanakan upacara dalam kitab suci sudah ada
sastra-sastranya yang dalam kitab agama disebut Yadnya Widhi yang artinya
peraturan-peraturan beryadnya. Puncak dari Karma dan Jnyana adalah Bhakti atau
penyeraha diri. Segala kerja yang kita lakukan pada akhirnya kita persembahkan
kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan cara seperti itulah Karma dan Jnyana
Marga akan mempunyai nilai yang tinggi.
Kegiatan upacara ini banyak menggunakan simbul-simbul atau
sarana. Simbul - simbul itu semuanya penuh arti sesuai dengan fungsinya
masing-masing. Berbhakti pada Tuhan dalam ajaran Hindu ada dua tahapan, yaitu
pemahaman agama dan pertumbuhan rokhaninya belum begitu maju, dapat menggunakan
cara Bhakti yang disebut ”Apara Bhakti”. Sedangkan bagi mereka yang telah maju
dapat menempuh cara bhakti yang lebih tinggi yang disebut ”Para Bhakti”.
Apara
Bhakti adalah bhakti yang masih banyak membutuhkan simbul-simbul dari
benda-benda tertentu. Sarana-sarana tersebut merupakan visualisasi dari
ajaran-ajaran agama yang tercantum dalam kitab suci. Menurut Bhagavadgita IX,
26 ada disebutkan : sarana pokok yang wajib dipakai dasar untuk membuat
persembahan antara lain:
-Pattram= daun-daunan,
-Puspam = bunga-bungaan,
-Phalam = buah-buahan,
-Toyam = air suci atau tirtha.
Dalam kitab-kitab yang lainnya disebutkan pula Api yang
berwujud “dipa dan dhŭpa” merupakan sarana pokok juga dalam setiap upacara
Agama Hindu. Dari unsur-unsur tersebut dibentuklah upakara atau sarana upacara
yang telah berwujud tertentu dengan fungsi tertentu pula. Meskipun unsur sarana
yang dipergunakan dalam membuat upakara adalah sama, namun bentuk-bentuk
upakaranya adalah berbeda-beda dalam fungsi yang berbeda-beda pula namun
mempunyai satu tujuan sebagai sarana untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Arti
dan Fungsi Bunga
Arti bunga dalam Lontar Yadnya Prakerti disebutkan sebagai
”... sekare pinako katulusan pikayunan suci”. Artinya, bunga itu sebagai
lambang ketulusikhlasan pikiran yang suci. Bunga sebagai unsur salah satu
persembahyangan yang digunakan oleh Umat Hindu bukan dilakukan tanpa dasar kita
suci.
Untuk fungsi bunga yang penting yaitu ada dua dalam upacara.
Berfungsi sebagai simbul, Bunga diletakkan tersembul pada puncak cakupan kedua
belah telapak tangan pada saat menyembah. Setelah selesai menyembah bunga tadi
biasanya ditujukan di atas kepala atau disumpangkan di telinga. Dan fungsi
lainnya yaitu bunga sebagai sarana persembahan, maka bunga itu dipakai untuk
mengisi upakara atau sesajen yang akan dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang
Widhi Wasa ataupun roh suci leluhur.
Dari Bunga, buah dan daun di Bali dibuat suatu bentuk sarana
persembahyangan seperti : canang, kewangen, bhasma dan bija. Canang, kewangen,
bhasma dan bija ini adalah sarana persembahyangan yang berasal dari unsur bunga,
daun, buah dan air. Semua sarana persembahyangan tersebut memiliki arti dan
makna yang dalam dan merupakan perwujudan dari Tatwa Agama Hindu. Adapun arti
dari masing-masing sarana tersebut antara lain yaitu :
1. Canang
Canang ini merupakan upakara yang akan dipakai sarana
persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Bhatara Bhatari leluhur.
Unsur - unsur pokok daripada canang tersebut adalah:
a.
Porosan
terdiri dari : pinang, kapur dibungkus dengan sirih.
Dalam lontar Yadnya Prakerti disebutkan : pinang, kapur dan sirih adalah
lambang pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai
Sang Hyang Tri Murti.
b.
Plawa yaitu daun-daunan yang merupakan lambang
tumbuhnya pikiran yang hening dan suci, seperti yang disebutkan dalam lontar
Yadnya Prakerti.
c.
Bunga
lambang keikhlasan
d.
Jejahitan,
reringgitan dan tetuasan adalah lambang ketetapan dan kelanggengan pikiran.
e.
Urassari
yaitu berbentuk garis silang yang menyerupai tampak dara yaitu bentuk sederhana
dari pada hiasan Swastika, sehingga menjadi bentuk lingkaran Cakra setelah
dihiasi.
2.
Kewangen
Kewangen berasal dari bahasa Jawa Kuno, dari kata “Wangi”
artinya harum. Kata wangi mendapat awalan “ka” dan akhiran “an” sehingga
menjadi “kewangian”, lalu disandikan menjadi Kewangen, yang artinya keharuman.
Dari arti kata kewangen ini sudah ada gambaran bagi kita tentang fungsi
kewangen untuk mengharumkan nama Tuhan.
Arti dan makna unsur yang membentuk kewangen tersebut adalah
Kewangen lambang ”Omkara”. Kewangen disamping sebagai sarana pokok dalam
persembahyangan, juga dipergunakan dalam berbagai upacara Pancayadnya. Kewangen
sebagai salah satu sarana penting untuk melengkapi banten pedagingan untuk
mendasari suatu bangunan.
Demikian pula dalam upacara Pitra Yadnya, ketika
dilangsungkan upacara memandikan mayat, kewangen diletakkan di setiap
persendian orang meninggal yang jumlahnya sampai 22 buah kewangen, dimana
fungsi kewangen disini adalah sebagai lambang Pancadatu (lambang unsur-unsur
alam) sendang fungsi Kawangen dalam upacara memandikan mayat sebagai
pengurip-urip.
3
Bunga
sebagai Lambang,
a.
Bunga lambang restu dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa
b.
Bunga lambang jiwa dan alam pikiran.
c.
Bunga yang baik untuk sarana keagamaan.
Arti dan Fungsi Api Dhupa dan Dipa
Dalam persembahyangan Api itu
diwujudkan dengan : Dhupa dan Dipa. Dhupa adalah sejenis harum-haruman yang
dibbakar sehingga berasap dan berbau harum. Dhupa dengan nyala apinya lambang
Dewa Agni yang berfungsi :
1. Sebagai pendeta pemimpin upacara
2. Sebagai perantara yang menghubungkan antara pemuja dengan
yang dipuja
3. Sebagai pembasmi segala kotoran dan pengusir roh jahat
4. Sebagai saksi upacara dalam kehidupan.
Kalau kita hubungkan antara
sumber-sumber kitab suci tentang penggunaan api sebagai sarana persembahyangan
dan sarana upacara keagamaan lainnya, memang benar, sudah searah meskipun dalam
bentuk yang berbeda. Disinilah letak keluwesan ajaran Hindu yang tidak kaku
itu, pada bentuk penampilannya tetapi yang diutamakan dalam agama Hindu adalah
masalah isi dalam bentuk arah, azas harus tetap konsisten dengan isi kitab suci
Weda. Karena itu merubah bentuk penampilan agama sesuai dengan pertumbuhan
zaman tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Ia harus mematuhi
ketentuan-ketentuan sastra dresta dan loka drsta atau : desa, kala, patra dan
guna.
Arti dan Fungsi Tirtha
Air merupakan sarana persembahyangan
yang penting. Ada dua jenis air yang dipakai dalam persembahyangan yaitu : Air
untuk membersihkan mulut dan tangan, kedua air suci yang disebut Tirtha. Tirtha
inipun ada dua macamnya yaitu: tirtha yang di dapat dengan memohon kepada Ida
Sang Hyang Widhi Wasa dan Bhatara-bhatari dan Tirtha dibuat oleh pendeta dengan
puja.
Tirtha berfungsi untuk membersihkan
diri dari kekotoran maupun kecemaran pikiran. Adapun pemakaiannya adalah
dipercikkan di kepala, diminum dan diusapkan pada muka, simbolis pembersihan
bayu, sabda, dan idep. Selain sarana itu, biasanya dilengkapi juga dengan bija,
dan bhasma yang disebut gandhaksta.
Tirtha bukanlah air biasa, tirtha
adalah benda materi yang sakral dan mampu menumbuhkan persanaan, pikiran yang
suci. Untuk asal usul kata Tirtha sesungguhnya berasal dari bahasa Sansekertha.
Macam - macam Tirtha untuk melakukan persembahyangan ada dua jenis yaitu tirtha
pembersihan dan tirtha wangsuhpada. Arti dan makna tirtha ditinjau dari segi
penggunaannya dapat dibedakan sebagai berikut :
a. Tirtha berfungsi sebagai lambang
penyucian dan pembersihan
b. Tirtha berfungsi sebagai pengurip
/ penciptaan.
c. Tirtha berfungsi sebagai
pemeliharaan
Dalam Rg Weda I, bagian kedua sukta
5, mantra 2 dan 5 dijelaskan Dewa Indra sebagai pemberi air soma yang merupakan
air suci. Mantra adalah Weda, sehingga kitab Catur Weda disebut kitab Mantra,
karena tersusun dalam bentuk syair-syair pujaan. Mantra itu banyak macam dan
ragamnya, ada mantra yang hanya terdiri dari dua, tida atau lima suku kata
seperti: Om Ang Ah, Ang Ung Mang, Sang Bang Tang Ang Ing dan sebagainya. Mantra
juga disebut ”Bija Mantra”. Suku kata yang demikian itu dianggap mengandung
sakti, disebut ”Wijaksara”.
Mantra yang digunakan sebagai
pengantar upacara disebut : Brahma. Nama ini kemudian digunakan untuk
menyebutkan, Ia yang maha kuasa. Mantra yang ditujukan kepada Tuhan dalam salah
satu manifestasinya disebut ”Stawa” misalnya ”Siwastawa, Barunastawa,
Wisnustawa, Durghastawa, dan sebagainya.
Mantra pada umumnya memakai lagu dan
irama, sehingga mantra juga disebut ”Stotra”. Dalam sekian banyak mantra,
contoh dua buah mantra yaitu mantra ”Puja Trisandhya” dan mantra
”Apsudewastawa” dapat diambil kesimpulan bahwa mantra adalah sebagai sarana
persembahyangan yang berwujud bukan benda (non material) yang harus diucapkan
dengan penuh keyakinan. Tanpa keyakinan semua sarana persembahyangan itu akan
sia-sia, untuk dapat menghubungkan diri dengan yang dipuja.