BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada dasarnya kehidupan manusia sekarang ini sangat
dipengaruhi oleh watak (bakat) dari kehidupan pribadi pada masa yang lalu (karma
vasana), namun seiring perkembangan usia dan pola pergaulan di tengah
masyarakat serta tingkat pendidikan yang diperolehnya telah menyebabkan
lahirnya manusia yang memiliki kualitas yang berbeda. Maka jika kita
renungkan dan meneliti sejenak kehidupan manusia di sekitar kita, kita akan
dapat menemukan orang per orang yang aktivitas kerjanya berbeda-beda.
Sekian banyak aktivitas ada pula yang menekuni bidang agama,
kerohanian (spiritual). Varnāsrama
bersumber dari Veda, sehingga semua bentuk sadhana (disiplin hidup)
semestinya disesuaikan dengan guna, dharma dan karma masing-masing. Dan
sesungguhnya semua profesi tidak dapat berdiri sendiri-sendiri, semua terikat
dan saling berhubungan satu dengan yang lainnya, ibarat anggota badan kita ini;
organ yang satu bergantung kepada organ yang lain. Betapapun cemerlangnya
pikiran yang ada dalam otak bila tidak ada tangan, perut, dan kaki maka hidup
ini tiadalah berarti apa apa.
Apapun dharma kita pada kehidupan ini sesunggunya adalah
untuk melayani agar dapat menuju kepada Sang Asal (Brahman).
Demikian pula dharma sebagai rohaniawan Hindu seperti: Pinandita, Pemangku,
Wasi, Dukun (eka jati), adalah merupakan profesi pelayanan dan pengabdian (Senvanam
dan Dasyanam) yang utama kepada Braman. Pandita yang merupakan
rohaniawan Hindu memiliki tugas dan kewajiban yang sangat berat.
Profil atau sosok pandita Hindu di masa kini dan masa yang
akan, bahwa sannya perlu diketahui, karena pandita ini adalah orang suci
yang memiliki tugas dan kewajiban yang
berat menjadi rohaniawan Hindu. Tidaklah mudah menjadi seorang pandita Hindu,
karena ada beberapa persyaratan dan ketentuan yang berlaku unutk menjadi
pandita. Maka dari itu kelompok kami akan membahas tentang Profil Hindu masa
kini dan masa yang akan datang, serta membahas tentang syarat menjadi seorang
pandita.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana pengertian dan sloka yang mengatur
tentang pandita?
1.2.2 Apa syarat untuk menjadi seorang Pandita?
1.2.3 Apa saja yang menjadi kewajiban seorang
pandita?
1.2.4 Bagaimana profil Pandita masa kini dan masa
depan?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Ingin
mengetahui pengertian dan sloka yang
mengatur tentang pandita.
1.3.2 Ingin mengetahui syarat untuk menjadi
seorang Pandita
1.3.3 Ingin mengetahui kewajiban seorang pandita.
1.3.3 Ingin
mengetahui profil Pandita masa kini dan masa depan.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan Sloka tentang Pandita
2.1.1 Pengertian Pandita
Pandita
berarti orang yang mencapai kebebasan jiwa, yang segala pekerjaannya tidak lagi
meninggalkan ikatan-ikatan keduniawian karena ia terbebas menuju kelepasan.
Pandita juga seseorang yang sudah mencapai “Niskama Karma” yang meyakini
hukum karma-phala. Oleh karena itu maka masyarakat mendudukkannya sebagai orang
utama, atau dengan kata lain “Sulinggih” (su = utama; linggih = kedudukan).
Pandita
juga disebut Sang Dwijati karena telah lahir dua kali; kelahiran pertama dari
rahim Ibu, sedangkan kelahiran kedua dari Weda (Mantram Sawitri atau Gayatri).
Kelahiran kedua ini terlaksana dalam proses Diksa yang diselenggarakan oleh
Nabe sebagai Guru Putra. Pandita juga disebut Sang Sadaka, artinya orang yang
sudah melaksanakan/ merealisasikan sadhana sehari-hari. Pengertian sadhana
seperti yang tertulis dalam Lontar Wrehaspati Tattwa adalah tiga jalan menuju
Sang Hyang Wisesa Paramartha (Tuhan YME), yaitu Yoga yang terdiri dari:
1. Jnanabhyudreka
(mengerti ajaran tattwa),
2. Indriyayogamarga
(tidak terikat oleh indra),
3. Tresnadosaksaya
(dapat menghilangkan pahala perbuatan).
Dalam agama Hindu, ada penyebutan istilah tentang pandita
dan pinandita. Kata pandita berasal dari akar kata ”pand”, yang artinya
mengetahui. Penyebutan istilah pandita ini, diberikan kepada seseorang yang
memiliki pengetahuan dan kemampuan mengenai ilmu pengetahuan suci Veda serta
memiliki sifat yang arif dan bijaksana. Dan untuk mendapatkan tingkat atau
status pandita ini, seseorang harus pula melakukan upacara penobatan yang
disebut ”Diksa”. Dari kata pandita inilah kemudian timbul sebutan untuk
pendeta.
Kata Dwijati berasal dari bahasa Sansekerta ,Dvi dan Jati .
Dvi berarti dua dan Jati berasal dari akar kata Ja yang berarti lahir. Dengan
demikian Dwijati berarti lahir dua kali. Kelahiran yang pertama adalah
kelahiran dari ibu kandungnya sendiri, sedangkan yang ke dua merupakan kelahiran
dari kaki Dang Guru Suci atau Nabe setelah memperoleh Ilmu Pengetahuan Suci dan
kerokhaniawan.
Dengan kata lain kelahiran yang ke dua hanya dapat terjadi
setelah yang bersangkutan memperoleh ilmu pengetahuan suci dan kerokhanian
melalui aguron-aguron (berguru/belajar) kepada seorang Nabe. Untuk kelahiran
yang kedua ini, seorang calon sulinggih juga harus melakukan Nuwun Pada atau
Metapak kepada Nabenya dalam suatu upacara yang disebut Mediksa atau Mepudgala.
Selesai upacara Mediksa yang bersangkutan diberi gelar atau sebutan Pedanda,
Pandita, Sri Bhagawan, Rsi, Empu, dan lain-lain. Kata Pandita berasal dari
bahasa Sansekerta yang berarti terpelajar, pandai, dan bijaksana atau orang
yang arif lagi bijaksana.
Pelaksanaan upacara Mediksa yang memberikan gelar Pedanda,
Pandita, Sri Bhagawan, Rsi, Empu, dan lain-lain itu, merubah status yang
bersangkutan dalam ikatan disiplin sebagaimana tertuang dalam catur bandana
dharma (empat ikatan disiplin kehidupan kerokhanian) meliputi :
2.1.2 Sloka yang mengatur tentang Pandita
Sangsiptanika
sang widhwan, saprayatna ring Sang Hyang Siddhanta jnana sira, sira ta matuha
temen, apan matuha dening jnana nira, mangkananaku Sang kumara, tang ikang
madawa kumisnya, tan ikang atisaya tuhanya, tan ikang madawa rambutny, tan ikang
maparas alengis kesanya, tan ikang mwang aruhur jatinya, ikang matuha ngaran. (Bhuana Kosa, VI. 2)
Terjemahan:
Jelasnya
seorang sadhaka, adalah orang yang memahami ajaran janana siddhanta, ialaha
yang sesungguhnya dikatakan tua, karena berkat jnana yang dimilikinya. Demikianlah anakku Sang Kumara. Bukan orang
yang kumisnya panjang, bukan orang tua renta, bukan orang yang berambut
panjang, bukan orang yang bermut gundul bersih, bukan karena keturunan
bangsawan dikataakn tua. (Pinatih.2001:23)
Hana sira
sadhaka magaji sarwa sastra,. Hyang Siddhanta utama inariaken nira. Ika ta sang
sadhaka mangkana. tar wruh ring jnanangkuika, apan kawenang dening bancanangku.
Hana karih sastra lewih sangke rikang sastra kabeh. Sang Hyang Jnana Siddhanta
sira wissaya. (Bhuana Kosa, VI. 3)
Terjemahana:
Ada
seorang sadahaka yang mempelajari segala macam ajaran, tetapi ajaran Siddhanta yang sangat utama ditinggalkannya.
Sadhaka yang demikian, (sesungguhnya) tidak memahami ajaranku, sebab terpedanya
ole maya-ku. Konon ada ajaran yang melebihi segala macam ajaran; ( namun
senungguhnya) ajaran ika Sang
Hyabancanangku adalah yang paling utama. (Suata. 2001: 19)
Vratena diksam apnoti
diksaya
apnoti daksinam
daksina
sraddham apnoti
srddhaaya
satyam apyate
(Yajurveda XIX.36)
Terjemahan:
Dengan
menjalankan Brata seseorang mencapai diksa
(penyucian diri). Dengan diksa seseorngg meemproleh daksina (pengormatan). Dengan daksina
orang mencapai sraddha (keyakina
teguh). melalui sraddha seseorang
menyadari satya (Tuhan Yang Maha
Esa). (Titib. 2001:43)
“Waneh
upama sang wiku kadi amalante sira,
sakwehning
talutuhing swakira rinadinan, ikang hati,
anemu
pwatang kamoksan”(Surya sewana, 9a)
Terjemahan:
Lagi
perumpamaan bagi seorang sadhaka, bahwa ia diibaratkan sebagai tukang cuci,
maka ia semestinya menghilangkan segala kotoran dari dalam dirinya, karena hati
bagaikan secarik kain yang mesti dibersihkannya, karena sesungguhnya
menghilangkan kekotoran hati, memungkinkan pencapaian tujuan berupa kelepasan.
(Suata.2001:25)
Ahimsa ngaranya tan pamati-mati,
brahmacaryatan ahyun arabya, satya ngaranya tatan mithyawacana, awyawaharika
ngaranya tan a wiwada, tan adol awelya, tan paguna dosa, astainya ngaranya tan
amaling-amaling tan angalap drewyaning len
yan tan nohanya.
Terjemahan:
Ahimsa
artinya tidak membunuh, Brahmacari artinya tidak mau beristri, satya artinya
tidak berdusta, Awyaharik artinya tidak suka bertengkar, tidak berjual beli,
tidak menunjukkan kecakapan dan berdosa, Astainya artiny tidak mencuri, tidak
mengambil milik orang lain bila tidak dapat persetujuan kedua pihak.
(Pinatih.2001:13)
2.2 Syarat-Syarat
Menjadi
Sulinggih/Pandita
Untuk menjadi seorang
Pandita/Sulinggih harus melalui suatu proses pendwijatian dengan perantara
upacara Diksa. Akan tetapi tidaklah sembarangan dapat melaksanakan upacara
padiksan tersebut, melainkan mesti memenuhi syarat-syarat yang telah
ditetapkan. Untuk dapat melaksanakan upacara padiksaan, calon yang akan didiksa
beserta dengan Sang Nabe harus memenuhi persyaratan yang ada. Adapun
persyaratan yang harus dipenuhi untuk orang yang akan disucikan (didiksa)
adalah sebagai berikut:
1.
Laki-laki yang sudah kawin
2.
Laki-laki yang Nyukla Brahmacari
3.
Wanita yang sudah kawin
4.
Wanita yangtidak kawin (kanya)
5.
Pasangan suami istri
6.
Umur minimal 40 tahun
7.
Paham dalam bahasa kawi, sanskerta, dan
Indonesia, memiliki pengetahuan umum, pendalaman inti sari ajaran agama.
8.
Berkelakuan baik, tidak pernah
tersangkut pidana
9.
Sehat lahir bhatin, berbudi luhur, tidak
cacat tubuh serta iangatan tidak terganggu.
10. Mendapat
tanda kesediaan dari Pendeta calon Nabenya yan akan menyucikan
11. Sebaiknya
tidak terikat akan pekerjaan pegawai negeri ataupun swasta kecuali bertugas
untuk hal keagamaan.
Sedangkan
persyaratan yang harus dipenuhi oleh Nabe adalah:
1.
Selalu dalamkeadaan bersih dan sehat,
baik lahir maupun bhatin.
2.
Mampu melepaskan diri dari ikatan
keduniawian
3.
Tenang dan bijaksana
4.
Selalu berpedoman kepada kitab suci
weda.
5.
Paham dan mengerti tentang catur weda.
6.
Mampu mebaca Sruti dan Smerti
7.
Teguh melaksanakan dharma Sadhana
(sering berbuat amal jasa dan kebajikan)
8.
Teguh melaksanakan tapa brata.
Disamping
memenuhi seluruh persyaratan tersebut, seorang yang akan disucikan atau
didiksa, juga mesti memenuhi persyaratan secara administrasi. Adapun prosedur
administrasi yang telah ditentukan dan harus dilalui yaitu:
1.
Calon diksa mengajukan permohonan untuk
di diksa kepada Parisada Hindu Dharma setempat yang mewilayahi,
selambat-lambatnya tiga bulan sebelum hari pediksaan
2.
Permohonan disertai/dilampiri dengan
surat:
a. Keterangan
berbadan sehat
b. Surat
keterangan kecakapan
c. Keterangan
tidak tersangkut perkara
d. Keterangan
berkelakuan baik
e. Riwayat
hidup
3.
Permohonan ditembuskan kepada pemerintah
setempat untuk permakluman.
4.
Parisada setempat setelah menerima surat
permohonan itu secepatnya melakukan tanggapan dan testing bersama calon Nabe,
guna mendapat kepastian tentang terpenuhi atau tidaknya seluruh persyaratan.
5.
Apabila permohonan belum memenuhi syarat
dapat diulang 3 atau 6 bulan kemudian. Hasil pemeriksaan dan testing
disampaikan kepada Parisada pusat dengan tembusan kepada Parisada setempat.
6.
Pemberian keputusan dapat atau tidaknya
seseorang untuk didiksa, selambat-lambatnya 2 minngu sebelum hari pediksaan
dengan tembusan ke Parisada Pusat dan Parisada setempat.
7.
Permohonan yang permohonannya ditolak
dapat mengajukan permohonan lagi setelah 3 bulan kemudian sampai sebanyak 3
kali.
8.
Seorang Pendeta yang baru di diksa,
boleh mulai melakukan Lokapalasraya setelah mendapat ijin untuk itu dari
Nabenya yang disasikan oleh Parisada yang memberikan ijin diksa.
9.
Parisada wajib menyiarkan tentang hak
Lokapalasraya itu.
Dengan
demikian segala ketentuan yang patut diikuti sebelum melaksanakan upacara
madiksa. Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah hubungan anatara sisya
dengan Nabe (aguron-guron) yang mesti terjaga dalam arti kesucian berprilaku,
karena bila seorang sisya diksita berprilaku yang tidak baik setelah ia
disahkan menjadi Sulinggih, yang ternoda bukan hanya dirinya melinkan juga
dapat mencemari kesucian Nabenya, oleh karena itu seorang Disita hendaknya
benar-benar mentaati tugas dan kewajiban seorang Sulinggih.
2.3 Kewajiban dan Fungsi Pandita
Sulinggih berwenang menyelesaikan segala macam upacara Panca
Yadnya. Kewenangan ini tidak terbatas hanya pada upacara rutin saja, tetapi
juga untuk upacara yang bersifat pengesahan seperti perkawinan, pengangkatan
anak dan lain-lain.
Untuk
dapat melaksanakan tugas kewajibannya dengan penuh, maka seorang Sulinggih
harus pula menjalani berbagai upacara peningkatan seperti Ngelinggihang Weda.
Untuk dapat muput karya yang besar seperti upacara yang menggunakan Sanggar Tawang Rong Tiga, Seorang Sulinggih
harus memiliki kemampuan dalam penguasaan Weda yang disebut sebagai Apasang Lingga. Apasang Lingga maksudnya
penguasaan tingkat tertentu atas Kitab Suci Weda.
Setelah manguasai tingkatan Weda
tertentu, maka tugas pokok Sulinggih adalah Ngeloka
Palasraya yaitu melaksanakan tugas selaku sandaran umat untuk mohon bantuan
dalam hal kehidupan keagamaan pada umumnya. Sulinggih menjadi tempat untuk
minta petunjuk, seperti bagaimana tata cara mendirikan Pura, mendirikan rumah,
menentukan hari-hari baik untuk sesuatu kegiatan dan lain-lain.
Dalam hal ini Sulinggih juga wajib setiap hari secara
terus-menerus meningkatkan kesucian dirinya, disamping mendoakan kesejahteraan
dan kebahagiaan semua makhluk di dunia. Tugas kewajiban ini dinamakan Nyurya
Sewana dan harus dilaksanakan setiap hari. Perlu ditambahkan pula bahwa secara
teoritis ada pula Sulinggih yang tidak melaksanakan tugas baik muput karya
maupun ngeloka palasraya. Sulinggih
ini hanya berorientasi kepada “ngetut
yasa” dan menjaga kesucian dirinya saja. Sulinggih ini dinamakan Wiku Ngaraga, maksudnya adalah bahwa
pengetahuan kependetaannya hanya dipergunakan untuk kepentingan dirinya
sendiri. Seorang Pandita memiliki
kewajiban kepada sisyanya antara lain:
1. Guru Nabe berwenang memberikan upacara Diksa atau penyucian terhadap
calon Diksa.
2. Memeberi peringatan kepada sisya tentang tingkah laku yang benar dan
salah.
3. Menuntun para sisya menuju kejalan yang benar sesuai dengan
sastra-satra agama.
4. Mengajarkan tentang dosa
5. Memberikan teguran kepada sisya.
Apabila
seseorang yang sudah didiksa atau di Dwijati maka ia harus mengikuti beberapa
kewajiban antaralain:
1. Kewajiban merubah nama (Amari Aran)
2. Kewajiban tentang merubah
pakian (Amari Wesa)
3. Kewajiban tentang perubahan prilaku (Amari Wisaya)
2.3.1 Kewajiban merubah nama (Amari Aran)
Setelah seseorang Diksita di diksa atau di Dwijati oleh
nabenya maka sang guru nabe akan menganti namanya yang telah disandang ketika
mereka masih dalam status Walaka. Dan
mengantinya dengan nama baru yang diberi oleh Sang Guru Nabe dengan suatu
upacara yang di sebut dengan upacara
Amari Arana tau merubah nama.
Misalnya: Ida Pedanda, Ida Rsi Bujangga, Ida Sri Bhagawan, Ida Pandita Mpu, Ida
Dukuh, dan sebagainya. Perubahan nama baru disebut Mabhiseka, artinya memiliki nama baru karena ia baru lahr dalam
kedua kalinya (Dwijati).
2.3.2 Kewajiban tentang merubah pakian (Amari
Wesa)
Seorang yang sudah di Dwi
Jatiharus merubah cara-cara berpakiannya. Mereka tidak boleh lagi berlaku seperti ketika masih dalam status
Walaka. Misalanya: memakai celana panjang, celana atau aju jeans, mengguanakan
perhiasan, berpakian seksi, dan yanglainnya. Seorang yang sudah di Dwi Jati
tidak berstatus walaka tetapi ia sudah status menjadi Sulinggih atau Pandita. Sulinggih
wajib menggunakan pakian kesulinggihan seperti:
2.3.2.1 Pakian Sehari-hari
1) Untuk Sulinggih laki-laki
a.
Kian puti
b.
Selimut kuning bertepi putih
c.
Ikat pinggang putih
d.
Keluar rumah harus memakai tongkat
e.
Boleh memakai jubah (kwaca rajeg)
2) Untuk Sulinggih laki-laki
a.
Kain dasar kuning
b.
Baju putih
c.
Selendang kuning
d.
Ikat pinggang kuning
2.3.2.2 Pakian untuk memuja
Seorang sulinggih memiliki aturan-aturan
khusus di dalam melakukan pekerjaan, khusus dalam tatanan pakian. Untuk itu
seorang Sulinggih ketika sedang meuja maka wajib menggunakan pakian seperti:
a.
Sampet: secarik kain yang dilipat pada dada
b.
Rudrakacatan Genitri: pada kudua buah bahunya
c.
Gondala: anting-anting
d.
Guduita: gelang genitri pada pergelangan lengan
e.
Kanta Bharana: perhiasan pada telinga
f.
Amukuta : bermahkota atau bermeketu (Bhawa)
2.3.3 Kewajiban Sulinggih dalam berprilaku (Amari Wisaya)
Seorang Dwi Jati atau Sulinggih
adalah orang telah melepaskan keduniawiannya, karena ia telah meninggalkan
dunia Walaka dan lahir kembali
keduniia Sadhaka. Kelahiraan ini ditndai dengan upacara Dwi Jati yang artinya lahir untuk kedua
kalinya dengan kesucian menuju Brahman. Untuk
itu seorang sulinggih, Wiku, Pandita,
atau Dhang Acarya diharuskan tidak
memiliki prilaku seperti pada waktu masih Walaka.
Sehingga seorang yang sudah medwijati atau menjadi Sulinggih harus merubah
prilaku Walaka menjadi prilaku
Pandita atau Sulinggih seperti misalnya memntaati beberapa mancam pantanga.
2.3.4 Kewajiban seorang sulinggih setiap hari
dalam melaksanakan dharmaning kawikon.
1.
Arcana: memuja
Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi dan Bhetara-Bhetari yang dilakukan setiap hari,
terutama dalam Suryasewana.
2.
Adhyaya: Tekun
belajar, mendalami weda, tatwa, tutur-tutur dan sebagainya.
3.
Adhyapaka: Suka
mengajar tentang kesucian, kerohanian, keagamaan, kesusastraan, dan bimbingan
rohani lainnya.
4.
Swadhyaya: Rajin
belaajr sendirimengulangi pelajaran-pelajaran terutama yang diberikan oleh
Nabenya.
5.
Dhyana:
Merenungkan Brahman (Tuhan) atau
Hyang Widhi atau hakekat yang di puja.
2.3.2 Fungsi Pandita
1. Memimpin
warga dalam upaya mencapai kebahagiaan rohani sesuai dengan perannya sebagai
“Guru Loka”.
2. “Ngelokaparasraya”
yaitu menjadi sandaran/ tempat bertanya tentang kerohanian, pelindung/ penuntun
dan pengayom masyarakat di bidang Agama Hindu, memberi petunjuk dan bimbingan
di bidang tattwa, susila, dan upacara, “muput” upacara ritual atas permintaan
warga.
2.4
Profil Pandita Masa Depan
Sudah lumbrah orang mengetahui
pada masa depan akan terjadi perubahan yang maha dahsyat tentang prdaban
manusia tak terkecuali pada masyarakat Hindu. pada perubahan itu akan muncul
tuntutsn internal dan eksternal yang harus dipenuhi oleh masyarakat
penduduknya. itu berlaku juga untuk sang Sadhaka atau Sulinggih aik dari arti
luas yaitu rohaniawan bahkan seluruh umat Hindu yang menekuni masalah-masalah
keroehanian khususnya Sadhaka yang diartikan pendeta.
Umat
Hindu akan mengalami perubah yang demikian berbeda dengan keadaan yang sebelumnya baik itu mengenai
masalah-masalah keduniawian maupun keroahania. Untuk mengantisispasi di
perlukan Pandita secara kualitas dan kuantitas serta memiliki tanggu jawab agar
umat Hindu mampu dan terbkti dapat memcahkannya.
Berdsarkan
pemikiran diatas maka diperlukan tindakan manakala yang patut disiapakan untuk
memunculkan Pandita yang dapat mengubah, membentuk serta mengarahkan zaman.
Hanya Pandita yang memiliki visi dan misi mengenai masa depan yang nanti
memiliki tekad untuk terpanggil memcahkan masalah.
Lontar Ekapratama, Sang Sadaka disebut pula sebagai “Sang
Katrini Katon”, yaitu “Wakil Hyang Widhi di dunia yang terlihat oleh
manusia sehari-hari”. Kemudian kitab Taiteria Upanisad menyebutkan bahwa Sang
Sadaka juga adalah “Acharya Dewa Bhawa” yaitu “Perwujudan Dewa di dunia”
karena kesucian lahir bathin dan dharma bhaktinya kepada manusia di dunia.
Kesimpulan: seorang Sulinggih hendaknya telah memenuhi syarat-syarat formal dan
syarat-syarat sipiritual diuraikan. Seorang guru spiritual atau Sulinggih selain sebagai narasumber dalam
dunia kerohanian, maka seorang pandita tidak hanya hafal terhadap Puja atau
stawa saja, namun secara idealnya juga harus mengetahui berbagai ilmu
pengetahuan baik sruti atau smrti dan ilmu pengetahuan yang lain.
2.4.1 Keterampilan Atau Kompetensi Yang
Harus Dimiliki Sulinggih
Kedudukan pandita dalam masyarakat Hindu sangatlah terhormat dan strategis.
Orang yang dapat diberi gelar pandita adalah mereka yang telah mencapai
dwijati. Pertama lahir dari rahim ibu kandung atau deha mata dan kedua lahir
dan rahimnya Weda atau Weda Mata. Dalam pustaka Nitisastra 1.6 ada dinyatakan
ciri-ciri orang yang bergelar pandita adalah Ksama (pemaaf), Mudita (berbudhi
tenang), Santosa (sabar). Upeksa (teliti), Mordawa (lemah lembut). Sastrajnya
(berpengetahuan suci), wuwus nira amrta (ucapannya bagaikan air penghidupan).
Bhagavad Gita IV. 19 menyatakan bahwa orang yang telah mencapai Niskama Karma
karena dicerahkan oleh Jnana Agni yang dapat disebut pandita. Artinya selalu
berbuat baik dan benar dengan tidak mengharapkan hasilnya. karena sangat yakin
akan kebenaran hukum karma phala setiap perbuatan baik dan benar pasti hasilnya
juga baik dan benar. Hal itu dicapai karena hidupnya telah dicerahkan sinar
ilmu pengetahuan suci yang disebut Jnana Agni yang mampu untuk memberikan sinar
keabadian berupa hidup yang abadi.
Kemudian di
Sarasamuscaya sloka ke-40 disebutkan:
SRUTYUKTAH PARAMO DHARMASTATHA SMRTIGATO PARAH,
SISTA CARAH PARAH PROKTAS TRAYO DHARMAH SANATANAH
Terjemahannya:
Maka yang patut diingat adalah, segala apa
yang diajarkan oleh Sruti dan Smerti disebut dharma, demikian pula tingkah laku
Sang Sista (Pandita) seharusnya: jujur, setia pada kata-kata, dapat dipercaya,
orang yang menjadi tempat penyucian diri, dan orang yang memberi ajaran-ajaran
(nasehat).
Berdasarkan sloka
diatas bahwa seorang Sulinggih harus mempunyai kompetensi yang harus dimiliki
dan harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bekal dalam membimbing
umatnya,
2.4.1 Keterampilan Atau Kompetensi Yang Harus
Dimiliki Sulinggih
Kedudukan pandita
dalam masyarakat Hindu sangatlah terhormat dan strategis. Orang yang dapat
diberi gelar pandita adalah mereka yang telah mencapai dwijati. Pertama lahir
dari rahim ibu kandung atau deha mata dan kedua lahir dan rahimnya Weda atau
Weda Mata. Dalam pustaka Nitisastra 1.6 ada dinyatakan ciri-ciri orang yang
bergelar pandita adalah Ksama (pemaaf), Mudita (berbudhi tenang), Santosa
(sabar). Upeksa (teliti), Mordawa (lemah lembut). Sastrajnya (berpengetahuan
suci), wuwus nira amrta (ucapannya bagaikan air penghidupan).
Bhagavad Gita IV. 19
menyatakan bahwa orang yang telah mencapai Niskama Karma karena dicerahkan oleh
Jnana Agni yang dapat disebut pandita. Artinya selalu berbuat baik dan benar
dengan tidak mengharapkan hasilnya. karena sangat yakin akan kebenaran hukum
karma phala setiap perbuatan baik dan benar pasti hasilnya juga baik dan benar.
Hal itu dicapai karena hidupnya telah dicerahkan sinar ilmu pengetahuan suci
yang disebut Jnana Agni yang mampu untuk memberikan sinar keabadian berupa
hidup yang abadi.
2.4.2
Kepekaan Terhadap Perkembangan Jaman
Kemampuan seorang pandita tidak hanya cakap dalam hal
keagamaan, akan tetapi harus memiliki skill (keterampilan) dalam hal yang
berhubungan dengan Ilmu Pengetahuan Tekhnologi dan Komunikasi (IPTEK). Jadi
kecakapan dari seorang pandita ini harus mempunyai kemampuan yang luas, baik
dari segi keagamaan, yaitu menguasai pengetahuan tentang Veda dan sesana
kepanditaan juga harus mengikuti perkembangan jaman yang dihadapi pada jaman
sekarang ini, yaitu harus tetap terbuka pada perkembangan tekhnologi dan
informasi yang sangat pesat dewasa ini. Sehingga seorang Sulinggih masa depan
harus mampu menguasai IT tersebut dan mampu untuk menyelami keadaan situasi dan
kondisi umat Hindu yang sedang berkembang di jaman yang penuh dengan
modernitas.
Disamping itu adalah kemampuan tentang adanya pemahaman
tentang bahasa, baik itu yang digunakan dalam penyampaian materi kepada umat
berupa bahasa pengantar bahasa Indonesia, juga harus mampu menggunakan bahasa
jawa kuno dan bahasa sansekerta karena teks kitab suci Hindu sebagian besar
adalah menggunakan bahasa sansekerta dan bahasa jawa kuno. Dan tidak kalah
pentingnya adalah penggunaan bahasa inggris yang tidak menutup
kemungkinan sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu harus mengunakan bahasa
tersebut sebagai bahasa Internasional. Kemudian hal yang harus dimiliki oleh
seorang sulinggih adalah penggunaan IT yang sebagai media yang mutlak dikuasai
dalam menjalin informasi dengan umat Hindu pada umumnya. Dengan demikian,
keterampilan yang harus dimiliki oleh seorang sulinggih dimasa depan
adalah harus mampu untuk menyesuaikan dan mampu melakukan filterisasi dalam
perkembangan jaman yang penuh dengan dinamika ini.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Kedudukannya Pandita sangat dihormati oleh
umat pada umumnya, karena dalam hal ini ada perubahan status dari sang walaka
menuju sadhaka. Sehingga dalam status sosila keagamaan sudah mempunyai status
sebagai seorang Pandita, yang berubah nama yang disebut amari-aran, merubah
atribut (amari wesa) dan merubah aktivitas kehidupan (amari wisaya).
Dan memiliki tugas serta kewajiban. dan Fungsi pandita:
Memimpin
warga upaya mencapai kebahagiaan rohani
sesuai dengan perannya sebagai “Guru Loka”. Dan “Ngelokaparasraya” yaitu menjadi
sandaran/ tempat bertanya tentang kerohanian, pelindung/ penuntun dan pengayom
masyarakat di bidang Agama Hindu, memberi petunjuk dan bimbingan di bidang
tattwa, susila, dan upacara, “muput” upacara ritual atas permintaan warga.
3.2 Saran
Semoga makalah yang kami buat ini
ada manfaatnya bagi para membaca, guna memambah pengetahuan tentang profil
Pandita masa depan.
DAFTAR
PUSTAKA
Agastia.G. IB, dkk. 2001. Eksestensi Sadhaka dalam
Agama Hindu. Denpasar: PT Pustaka Manikgeni.
Sastra, Sara Gde. 2005. Pedoman Calon Pandita Dan Dharmaning Sulinggih (wiku sessana).
Surabaya: Paramitha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar