Selasa, 28 Januari 2014

SARANA PERSEMBAHYANGAN*


SARANA PERSEMBAHYANGAN*
Pendahuluan
Ajaran Agama tidak cukup hanya diketahui dan dimengerti saja, harus dibarengi dengan penghayatannya, dari semua itu pengamalan dalam bentuk perilaku sehari-hari kita di dalam bermasyarakat itulah yang paling utama. Semakin sering kita sembahyang, beryajña, membuat Upakāra  hendaknya kita dapat meningkatkan sikap, moral dan perilaku kita menuju kualitas yang lebih baik dan benar sesuai dengan kaidah Dharma. Karena setiap Upacāra  dan Upakāra  yang kita buat pada dasarnya merupakan penjabaran ajaran agama dan memiliki hakekat sebagai pembelajaran diri, dalam menata  hidup dan kehidupan sehingga dapat meniti ke tujuan utama kelahiran ini, yaitu ”Mokshartam Jagadhita”
*   Disampaikan pada pembinaan SDM Hindu karyawan PT. Indosat, Tbk, Purwakarta, 13-15 Pebruari 2007
** Penyuluh Agama Hindu Kota Bekasi
Setiap Upacāra  (proses untuk mendekatkan diri dengan Brahman) agama selalu disertai dengan Upakāra (sarana yang dipakai sebagai media pemujaan Brahman), baik dalam wujud kecil (sederhana/kanistama), menengah (madhyama) maupun besar (mewah/uttama), hendaknya dibarengi dengan memahami akan tujuan Upacāra  tersebut dan memahami makna Upakāra nya. Oleh karena itu Upacāra  dan Upakāra  harus mengacu kepada sastra-sastra agama, bukan hanya dilandasi dengan ”Gugon Tuwon, Anak Mula Keto
Banten dalam agama Hindu adalah bahasa agama. Ajaran suci Veda sabda suci Tuhan itu disampaikan kepada umat dalam berbagai bahasa. Ada yang meggunakan bahasa tulis seperti dalam kitab Veda Samhita disampaikan dengan bahasa Sanskerta, ada disampaikan dengan bahasa lisan. Bahasa lisan ini sesuai dengan bahasa tulisnya. Setelah di Indonesia disampaikan dengan bahasa Jawa Kuno dan di Bali disampaikan dengan bahasa Bali. Disamping itu Veda juga disampaikan dengan bahasa Mona. Mona artinya diam namun banyak mengandung informasi tentang kebenaran Veda dan bahasa Mona itu adalah banten. Dalam Lontar Yajña Prakrti disebutkan: “ sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana” artinya: semua jenis banten (upakāra)  adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung (alam semesta)  Demikian pula dalam Lontar Tegesing Sarwa Banten, dinyatakan: “ Banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane jangkep galang” Artinya: Banten itu adalah buah pemikiran artinya pemikiran yang lengkap dan bersih.
Bila dihayati secara mendalam,  banten merupakan wujud dari pemikiran yang lengkap yang didasari dengan hati yang tulus dan suci. Mewujudkan banten yang akan dapat disaksikan berwujud indah, rapi, meriah dan unik mengandung simbol, diawali dari pemikiran yang bersih, tulus dan suci. Bentuk banten itu mempunyai makna dan nilai yang tinggi mengandung simbolis filosofis yang mendalam. Banten itu kemudian dipakai untuk menyampaikan rasa cinta, bhakti dan kasih.
Tujuan Yajña
Tujuan pokok Yajña, antara lain:
  1. Untuk menjabarkan dan menyebarluaskan ajaran Veda yang bersifa rahasia
  2. Sebagai sarana menyeberangkan Ātma  untuk mencapai Moksha
  3. Sebagai sarana untuk menyampaikan permohonan kepada Hyang Widhi.
  4. Sebagai sarana untuk menciptakan keseimbangan (tri hita karana).
  5. Sebagai sarana untuk menciptakan suasana kesucian dan penebusan dosa.
    1. Sebagai sarana pendidikan yang bersifat praktis  (Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda, 2004: 11).
Landasan Yajña:
Setiap Yajña yang ingin dibuat/diadakan harus memenuhi kriteria yang terdapat dalam Veda, hal ini dimaksudkan agar yajña tersebut berkualitas Śāttvam, karena hanya kualitas yajña yang Śāttvamlah yang dapat menghantarkan orang yang mengadakan yajña mencapai kemanunggalan dengan Brahman, adapun landasan yajña sesuai dengan Manavadharmasastra, VII.10, yaitu:
  1. Iksa; tujuan yang ingin dicapai melalui yajña tersebut harus jelas
  2. Sakti; harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan yang dimiliki, baik kualitas SDM, maupun pendanaannya, jangan sampai meninggalkan hutang.
  3. Desa; disesuaikan dengan tempat dimana yajña itu akan dilakukan,  kearifan daerah setempat (lokal genius) harus dihargai sehingga tidak ada kesan pemaksaan
  4. Kala; situasi atau keadaan wilayah, masyarakatnya juga harus diperhatikan sehingga yajña tersebut efektif dan efisien serta bermanfaat positif
    1. Tattva; harus merujuk pada ketentuan sastra agama baik Sruti, Smrti, maupun Nibandha.
Disamping hal tersebut di atas, agar yajña tersebut berkualitas Śāttvam harus memenuhi standar/mutu seperti apa yang telah ditetapkan dalam Bhagavadgītā, XVII. 11-14, yaitu:
l   Sraddha; dilakkan dengan penuh keyakinan dan kemantapan hati
l   Sastra; sesuai dengan petunjukk sastra
l   Gita; terdapat lagu-lagu pujian kepada Hyang Widhi
l   Mantra;terdapat doa-doa pujaan yang dihaturkan untuk memeuliakan Hyang Widhi
l   Lascarya; dilakukan dengan penuh kesadaran dan ketulusan hati
l   Daksina; pemberian penghormatan berupa rsi yajña kepada Sang Sadhaka (pandita/pinandita)
l   Annaseva; menjamu  dengan senang dan tulus setiap tamu dengan makanan dan minuman yang menyehatkan badan dan rohani
l   Nasmita; tidak ada unsur pamer atau jor-joran.
Tujuan Upacāra
Secara umum tujuan diadakanya Upacāra  menyangkut empat hal, yaitu:
  1. Yang bersifat umum dan kepercayaan adalah: untuk melenyakan pengaruh yang kurang baik; mengundang atau menambahkan pengaruh-pengaruh yang baik dan memberikan kekuatan; untuk memperoleh tujuan hidup sekala-niskala; sebagai pernyataan umum yang dimaksud menurut tujuan Upacāra  itu sendiri.
  2. Sebagai pembinaan moral (budhi) sehingga memungkinkan berkembangnya sifat-sifat: welas asih dan pengampunan; tahan uji; bebas dari iri hati; meningkatnya kesucian rohani; wajar dan tenang dalam menghadapi segala cobaan hidup;  suka berderma dan tidak rakus/lobha.
  3. Untuk pengembangan kepribadian dari Avidya (kegelapan bati) menuju Vidya (memiliki pengetahuan) menuju Vijñana  (bijaksana) menuju Kstrajña (kesadaran illahi).
  4. Untuk pengembangan spiritual sehingga terbebasnya Ātma dari belenggu samsara  atau manunggaling kawulo lan gusti
Fungsi Upakāra  Secara Umum
  1. Sebagai linggih dan perwujudan Hyang Widhi
  2. Sebagai sarana cetusan angayu bagia (persembahan)
  3. Seagai sarana permohonan
  4. Sebagai sarana pensucian lahir-batin
Sarana Persembahyangan
Canang Sari
”Canang sari inggih punika sarin kasucian kayun bhakti ring Hyang Widhi tunggal. Napkala ngaksara kahiwangan-kahiwangan”.- Canang sari yaitu inti dari pikiran dana niat yang suci sebagai tanda bhakti/hormat kepada Hyang Widhi ketika ada kekurangan saat sedang menuntut ilmu kerohanian  (lontar Mpu Lutuk Alit). Canang sari adalah suatu Upakāra /banten yang selalu menyertai atau melengkapi setiap sesajen/persembahan, segala Upakāra  yang dipersiapkan belum disebut lengkap kalau tidak di lengkapi dengan canang sari, begitu pentingnya sebuah canang sari dalam suatu Upakāra /bebanten. Apakah sebenarnya makna yang terkandung dalam sebuah canang sari?. Canang sari sebagai lambang angga sarira serta hidup dan kehidupan. Yaitu:
ü  Ceper. Ceper adalah sebagai alas dari sebuah canang, yang memiliki bentuk segi empat. Ceper adalah sebagai lambang angga-sarira (badan), empat sisi dari pada ceper sebagai lambang/nyasa dari Panca Maha Bhuta, Panca Tan Mantra, Panca Buddhindriya, Panca Karmendriya. Keempat itulah yang membentuk terjadinya Angga-sarira (badan wadag) ini.
ü  Beras. Beras atau wija sebagai lambang/nyasa Sang Hyang Ātma , yang menjadikan badan ini bisa hidup, Beras/wija sebagai lambang benih, dalam setiap insan/kehidupan diawali oleh benih yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang berwujud Ātma . Ceper sebagai lambang/nyasa angga-sarira/badan tiadalah gunanya tanpa kehadiran Sang Hyang Ātma . Tak ubahnya bagaikan benda mati, yang hanya menunggu kehancurannya. Maka dari itulah di atas sebuah ceper juga diisi dengan beras, sebagai lambang/nyasa Sang Hyang Ātma . Maka dari itulah hidup kita di belenggu oleh Citta dan Klesa, Ātma  menimbulkan terjadinya Citta Angga-sarira (badan kasar) menimbulkan terjadinya klesa, itulah yang menyebabkan setiap umat manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya.
ü  Porosan. Sebuah Porosan terbuat dari daun sirih, kapur/pamor, dan jambe atau gambir sebagai lambang/nyasa Tri-Premana, Bayu, Sabda, dan Idep (pikiran, perkataan, dan perbuatan). Daun sirih sebagai lambang warna hitam sebagai nyasa Bhatara Visnu, dalam bentuk tri-premana sebagai lambang/nyasa dari Sabda (perkataan), Jambe/Gambir sebagai nyasa Bhatara Brahma, dalam bentuk Tri-premana sebagai lambang/nyasa Bayu (perbuatan), Kapur/Pamor sebagai lambang/nyasa Bhatara Iswara, dalam bentuk Tri-premana sebagai lambang/nyasa Idep (pikiran). Suatu kehidupan tanpa dibarengi dengan Tri-premana dan Tri Kaya, suatu kehidupan tiadalah artinya, hidup ini akan pasif, karena dari adanya Tri-premana dan Tri Kaya itulah kita bisa memiliki suatu aktivitas, tanpa kita memiliki suatu aktivitas kita tidak akan dapat menghadapi badan ini. Suatu aktivitas akan terwujud karena adanya Tri-Premana ataupun Tri-kaya.
ü  Tebu dan pisang. Di atas sebuah ceper telah diisi dengan beras, porosan, dan juga diisi dengan seiris tebu dan seiris pisang. Tebu atapun pisang memiliki makna sebagai lambang/nyasa amrtha. Setelah kita memiliki badan dan jiwa yang menghidupi badan kita, dan tri Pramana yang membuat kita dapat memiliki aktivitas, dengan memiliki suatu aktivitaslah kita dapat mewujudkan Amrtha untuk menghidupi badan dan jiwa ini. Tebu dan pisang adalah sebagai lambang/ nyasa Amrtha yang diciptakan oleh kekuatan Tri Pramana dan dalam wujud Tri Kaya.
ü  Sampian Uras. Sampian uras dibuat dari rangkaian janur yang ditata berbentuk bundar yang biasanya terdiri dari delapan ruas atau helai, yang melambangkan roda kehidupan dengan Astaa iswaryanya/delapan karakteristik yang menyertai setiap kehidupan umat manusia. Yaitu : Dahram (Kebijaksanaan), Sathyam (Kebenaran dan kesetiaan), Pasupati (ketajaman, intelektualitas), kama (Kesenangan), Eswarya (kepemimpinan), Krodha (kemarahan), Mrtyu (kedengkian, iri hati, dendam), Kala ( kekuatan). Itulah delapan karakteristik yang dimiliki oleh setiap umat manusia, sebagai pendorong melaksanakan aktivitas, dalam menjalani roda kehidupannya.
ü  Bunga. Bunga adalah sebagai lambang/nyasa, kedamaian, ketulusan hati. Pada sebuah canang bunga akan ditaruh di atas sebuah sampian uras, sebagai lambang/nyasa di dalam kita menjalani roda kehidupan ini hendaknya selalu dilandasi dengan ketulusan hati dan selalu dapat mewujudkan kedamaian bagi setiap insan. Bunga yang baik digunakan sebgai persembahan adalah bunga yang segar, wangi, utuh, tidak tumbuh dikuburan, belum jatuh dari tangkainya.
ü  Kembang Rampai. Kembang rampai akan ditaruh di atas susunan/rangkaian bunga-bunga pada suatu canang, kembang rampai memiliki makna sebagai lambang/nyasa kebijaksanaan. Dari kata kembang rampai memiliki dua arti, yaitu: kembang berarti bunga dan rampai berarti macam-macam, sesuai dengan arah pengider-ideran kembang rampai di taruh di tengah sebagai simbol warna brumbun,  karena terdiri dari bermacam-macam bunga. Dari sekian macam bunga, tidak semua memiliki bau yang harum, ada juga bunga yang tidak memiliki bau, begitu juga dalam kita menjalani kehidupan ini, tidak selamanya kita akan dapat menikmati kesenangan adakalanya juga kita akan tertimpa oleh kesusahan, kita tidak akan pernah dapat terhindar dari dua dimensi kehidupan ini. Untuk itulah dalam kita menata kehidupan ini. Untuk itulah dalam kita menata kehiupan ini hendaknya kita memiliki kebijaksanaan.
ü  Lepa. Lepa  atau boreh miyik adalah sebagai lambang/nyasa sebagai sikap dan prilaku yang baik. Boreh miyik/lulur yang harum, lalau seseorang memaki lulur, pasti akan dioleskan pada kulitnya, jadi lulur sifat di luar yang dapat disaksikan oleh setiap orang. Yang dapat dilihat ataupun disaksikan oleh orang lain adalah prilaku kita, karena prilakunyalah seseorang akan disebut baik ataupun buruk, seseorang akan dikatakan baik apabila dia selalu berbuat baik, begitu juga sebaliknya seseorang akan dikatakan buruk kalau di selalu berbuat hal-hal yang tidak baik. Boreh miyik sebagai lambang/nyasa perbuatan yang baik.
ü  Minyak wangi. Minyak wangi/miyik-miyikan sebagai lambang/nyasa ketenangan jiwa atau pengendalian diri, minyak wangi biasanya diisi pada sebuah canang. Sebagai lambang/nyasa di dalam kita menata hidup dan kehidupan ini hendaknya dapat dijalankan dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang baik, saya umpamakan seperti air yang tenang, di dalam air yang kita akan dapat melihat jauh ke dalam air, sekecil apapun benda yang ada dalam air dengan gampang kita dapat melihatnya. Begitu juga dalam kita menjalani kehidupan ini, dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang mantap kita akan dapat menyelesaikan segala beban hidup ini.
Canang adalah pada dasarnya sebagai wujud dari perwakilan kita untuk menghadap kepada-Nya. Kalau kita dapat meresapi dan menghayati serta melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari, seperti apa yang terkandung dalam makna Canang sari di atas, pasti bhakti kita akan diterima oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dan kita dapat mengarungi kehidupan ini dengan damai sejahtera sekala niskala.
Air (Tirtha)
Air merupakan sarana sembahyang yang penting. Ada dua jenis air yang dipakai pada waktu sembahyang, yaitu air untuk membersihkan mulut dan tangan dalam persiapan sembahyang, dan air yang nantinya berfungsi sebagai air suci atau tirtha.Tirtha inipun ada dua macam yaitu tirtha yang didapat dengan memmohon kepada Tuhan dan tirtha yang dibuat oleh pandita / pinandita dengan puja mantra.
Beberapa istilah:
  • Odaka; adalah air dalam arti biasa, dapat dipergunakan untuk mencuci tangan, berkumur, minum, sebagai pelepas dahaga, dan sebagainya.
  • Tirtha; adalah air yang telah disucikan. Kesuciannya bias diperoleh dengan jalan dimantrai oleh orang yang berwenang dan bias pula dengan jalan mengambil di suatu tempat tertentu disertai upacara keagamaan. Yang terakhir ini di beberapa tempat disebit juga wangsuhpada.
Penggunaan Tirtha:
  • Yang berfungsi sebagai penyucian terhadap tempat, bangunan-bangunan, alat-alat upacara ataupun diri seseorang. Tirtha ini diperoleh dengan jalan puja mantra para pandita/pinandita, misalnya tirtha pelukatan, tirtha pabersihan, prayascita, byakaon, pasupati, tirtha pemlaspas, dsb.
  • Yang berfungsi sebagai penyelesaian  dalam upacara persembahyangan. Umumnya tirtha ini dimohon di suatu pelinggih utama pada suatu pura atau tempat yang dianggap suci. Tirtha ini sering disebut dengan tirtha wangsuhpada.
  • Yang berfungsi sebagai  penyelesaian upacara kematian, misalnya: tirtha penembak, pangentas, pralina, dan  tirtha pemanah
Pada intinya maksud dari pemakaian tirtha iniadalah sebagai penyucian secara lahiriah dan rohani.
Api (Dupa)
Secara kasat mata dupa adalah sejenis hio yang dibakar sehingga , berasap dan berbau harum. Wangi dupa dengan nyala apinya adalah lamang deva Agni yang berfungsi sebagai pendeta, pemimpin upacara, sebagai perantara yang menghubungkan antara pemuja dengan yang dipuja, sebagai pembasmi segala kekotoran dan pengusir roh jahat, terakhir sebagai saksi upacara.
Api memiliki peranan penting dalam upacara-upacara  keagamaan. Dalam agama Hindu setiap upacar didahului dengan menyalakan api, baik api dalam arti biasa, maupun api  yang ada dalam diri sendiri. Api bukan hanya dipakai sebagai persembahan, tetapi karena sifat-sifat yang dimiliki menyebabkan api mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
  • Panasnya meresap ke segala pelosok, baik di dalam air, tanah, udara, tumbuh-tumbuhan, ataupun mahluk-mahluk hidup lainnya. Demikian pula asapnya dapat terangkat sendiri sampai ke angkasa memancarkan sinar  yang putih berkilauan, menyebar ke segala penjuru. Sifat-sifat demikian menyebabkan api dipakai sebagai perantara antara bumi dan langit, manusia dengan Tuhan, sesama ciptaan Tuhan dan sebagai pembawa persembahan.
  • Sinar cahayanya, memancar ke segala penjuru menyebabkan api dipakai sebagai penerangan setiap saat, baik siang, malam, ataupun kegelapan.
  • Nyalanya yang berkobar-kobar akan membakar apa saja yang dilemparkan kepadanya, sehingga dianggap sebagai pembasmi noda, malapetaka dan penderitaan.
  • Api dengan sebutan deva Agni adalah deva atau sinar suci Tuhan yang selalu dekat, dapat dilihat dengan nyata oleh manusia menyebabkan api dianggap sebagai saksi dalam kehidupan.
  • Api selalu dinyalakan di rumah tangga sehingga disebut Grhapati yang artinya  pimpinan atau raja dalam rumah tangga
Perwujudan Api
  • Dupa; api dengan nyala serta asap yang kecil tetapi jelas. Tergolong dalam ini adalah peasepan dan sejenisnya. Biasanya dicampur dengan wewangian sehingga memberikan aroma yang dapat menenangkan pikiran.
  • Dipa; adalah api dengan nyala yang memancarkan sinar cahaya yang terang benderang. Misalnya, api dari lilin, lampu,  lampu listrik dan sejenisnya.
  • Obor; api dengan nyala yang bsar berkobar-kobar. Termasuk jenis ini adalah obor, dari perakpak, tombrog (obor dari bambu), dsb.
Bija
Bija disebut juga gandaksata, berasal dari ganda dan aksata, artinya biji padi-padian yang utuh dan berbau wangi. Oleh karena itu hendaknya menggunkan beras yang masih utuh, dicuci bersih, dicampur dengan wangi-wangian. Misalnya dicampur dengan air cendana dan bunga yang harum. Bija dianggap sebgai simbol benih yang suci anugrah dari Tuhan dalam wujud Ardhanaresvari. Pemakaiannya hampir sama dengan pemakian tirtha yaitu ditaburkan pada tempat bangunan yang dipergunakan dalam suatu upacara  sebagai simbol penaburan benih yang suci yang akan memberikan kesucian.
Pemakaian pada saat selesai sembahyang akan diletakkan diantar kedua kening. Tempat ini dianggap sebagai tempat mata ketiga (cudamani). Penempatan  bija di sini diharapkan menumbuhkan dan memberi sinar-sinar kebijaksanaan kepada orang yang bersangkutan.
Yang diletakkan di pangkal tenggorokan sebagai simbol penyucian  dengan harapan agar mendapatkan kebahagiaan. Kemudian ditelan sebagai simbol untuk menemukan kesucian rohani dengan harapan agar memperoleh kesempurnaan hidup.
Demikian beberapa penjelasan tentang sarana persembahyanagn yang dapat dijelaskan pada kesempatan ini. Semoga ada manfaatnya. Om santih santih santih Om.
MAKNA SARANA PERSEMBAHYANGAN
Oleh : Ni Kadek Putri Noviasih, S.Sos.H
Salah satu bentuk pengamalan beragama Hindu adalah berbhakti kepada Sang Hyang
Widhi. Di samping itu pelaksanaan agama juga di laksanakan dengan Karma dan Jnana.
Bhakti, Karma dan Jnana Marga dapat dibedakan dalam pengertian saja, namun dalam
pengamalannya ketiga hal itu luluh menjadi satu. Upacara dilangsungkan dengan penuh
rasa bhakti, tulus dan ikhlas. Untuk itu umat bekerja mengorbankan tenaga, biaya, waktu
dan itupun dilakukan dengan penuh keikhlasan.
Kegiatan upacara ini banyak menggunakan simbol-simbol atau sarana. Simbolsimbol
itu semuanya penuh arti sesuai dengan fungsinya masing-masing. Berbhakti pada
Tuhan dalam ajaran Hindu ada dua tahapan, yaitu pemahaman agama dan pertumbuhan
rohaninya belum begitu maju, dapat menggunakan cara Bhakti yang disebut ”Apara
Bhakti”. Sedangkan bagi mereka yang telah maju dapat menempuh cara bhakti yang lebih
tinggi yang disebut ”Para Bhakti”. Apara Bhakti adalah bhakti yang masih banyak
membutuhkan simbul-simbul dari benda-benda tertentu. Nah sarana-sarana itulah
merupakan visualisasi dari ajaran-ajaran agama yang tercantum dalam kitab suci.
Menurut Bhagavadgita IX.26 sarana pokok yang umum digunakan adalah Bunga,
Daun, Buah, Api dan Air. Dalam kitab-kitab yang lainnya disebutkan pula Api yang
berwujud “dipa dan dhŭpa” merupakan sarana pokok juga dalam setiap upacara Agama
Hindu. Dari unsur-unsur tersebut dibentuklah upakara atau sarana upacara yang telah
berwujud tertentu dengan fungsi tertentu pula. Meskipun unsur sarana yang dipergunakan
dalam membuat upakara adalah sama, namun bentuk-bentuk upakaranya adalah berbedabeda
dalam fungsi yang berbeda-beda pula namun mempunyai satu tujuan sebagai sarana
untuk memuja Sang Hyang Widhi.
1. Bunga dan Daun
Arti bunga dalam Lontar Yadnya Prakerti disebutkan sebagai “... sekare pinaka
katulusan pikayunan suci”. Artinya, bunga itu sebagai lambang ketulus-ikhlasan pikiran
yang suci. Bunga sebagai unsur salah satu persembahyangan yang digunakan oleh umat
Hindu bukan dilakukan tanpa dasar petunjuk kitab suci. Untuk fungsi bunga yang
penting yaitu ada dua dalam upacara. Berfungsi sebagai simbol, bunga diletakkan
tersembul pada puncak cakupan kedua belah telapak tangan pada saat menyembah. Setelah
selesai menyembah bunga tadi biasanya ditujukan di atas kepala atau disumpangkan di
telinga. Dan fungsi lainnya yaitu bunga sebagai sarana persembahan, maka bunga itu
dipakai untuk mengisi upakara atau sesajen yang akan dipersembahkan kepada Sang
Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya ataupun roh suci leluhur.
2
Dari bunga dan daun ini dibuat suatu bentuk sarana persembahyangan seperti
Canang dan Kewangen. Semua sarana persembahyangan tersebut memiliki arti dan makna
yang dalam dan merupakan perwujudan dari Tattwa Agama Hindu.
Canang ini merupakan upakara yang akan dipakai sarana persembahan kepada Sang
Hyang Widhi Wasa atau Bhatara Bhatari leluhur. Unsur - unsur pokok daripada canang
tersebut adalah:
a. Porosan terdiri dari pinang, kapur dibungkus dengan sirih.
Dalam lontar Yadnya Prakerti disebutkan pinang, kapur dan sirih adalah lambang
pemujaan kepada Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang
Tri Murti.
b. Plawa yaitu daun-daunan yang merupakan lambang tumbuhnya pikiran yang hening
dan suci, seperti yang disebutkan dalam lontar Yadnya Prakerti.
c. Bunga merupakan lambang keikhlasan
d. Jejahitan, reringgitan dan tetuwasan adalah lambang ketetapan dan kelanggengan
pikiran.
e. Urassari yaitu berbentuk garis silang yang menyerupai tampak dara yaitu bentuk
sederhana dari pada hiasan Swastika, sehingga menjadi bentuk lingkaran Cakra
setelah dihiasi.
Dalam Kitab Agastya Parwa disebutkan :
Nihan ikang kembang tan yogya pujakena ring bhatara: kembang uleren, kembang
ruru tan inunduh, kembang laywan-laywan ngaranya alewas sekar kembang munggah
ring sema, nahan ta lwir ning kembang tan yogya pujakena de nika sang satwika.
Artinya :
Inilah bunga yang tidak patut dipersembahkan kepada Bhatara, bunga yang berulat,
bunga yang gugur tanpa diguncang, bunga yang berisi semut, bunga yang layu yaitu
yang lewat masa mekarnya, bunga yang tumbuh di kuburan. Itulah jenis-jenis bunga
yang tidak patut dipersembahkan oleh orang baik-baik.
Kewangen berasal dari bahasa Jawa Kuno, dari kata “Wangi” artinya harum. Kata
wangi mendapat awalan “ka” dan akhiran “an” sehingga menjadi “kewangian”, lalu
disandikan menjadi Kewangen, yang artinya keharuman. Dari arti kata kewangen ini sudah
ada gambaran bagi kita tentang fungsi kewangen untuk mengharumkan nama Tuhan.
Kewangen adalah nama salah satu sarana sembabyang. Kewangen dibuat dari daun
pisang atau janur yang berbentuk kojong. Di dalamnya diisi perlengkapan berupa daundaunan,
hiasan dari rangkaian janur yang disebut sampian kewangen, bunga, uang kepeng
dan porosan yang disebut silih asih. Adapun yang dimaksud dengan porosan silih asih
adalah dua potong daun sirih yang diisi kapur dan pinang, diatur sedemikian rupa sehingga
3
bila digulung akan tampak bolak-balik, yaitu yang satu potong tampak bagian perutnya
dan satu bagian lagi tampak bagian punggungnya. Dalam persembahyangan kewangen
dipakai menyembah Ista Dewata. Yaitu aspek Tuhan yang dimohon hadir dalam
persembahyangan tersebut untuk menerima persembahan atau bakti pemujanya. Karena
kewangen itu simbul Tuhan maka cara pemakaiannya hendaknya sedemikian rupa
sehingga muka kewangen berhadapan muka dengan penyembahnya. Hal ini dimaksudkan
agar antara yang menyembah dengan yang disembah berhadap-hadapan. Yang merupakan
muka kewangen ialah bagian letak uang kepengnya. Bila uang kepeng sulit didapat diganti
dengan uang logam.
2. Buah
Penggunaan buah dan jenis-jenis makanan dijadikan rakan banten itu disebutkan
dalam Lontar Yadnya Prakerti sebagai lambang Widyadara-Widyadhari. Kata Widya
berarti ilmu pengetahuan dan Dhara artinya merangkul. Widyadhara artinya mereka yang
mampu menguasai ilmu pengetahuan suci. Ilmu tersebut diwujudkan dalam perbuatan
nyata. Ini artinya kalau rakan banten tersebut sebagai lambang Widyadhara-Widyadhari ini
artinya buah-buahan dan berbagai jenis jajan itu mengandung makna agar rakan banten itu
hasil sendiri dari pengembangan ilmu pengetahuan tersebut. Buah hasil kebun sendiri,
jajan hasil kreasi sendiri. Hal itulah yang paling baik untuk dijadikan rakan banten. Namun
tentu juga tidak salah bila buah-buahan dan jajan itu dibeli, mungkin karena kesibukan
sehingga tidak sempat membuat.
Selain itu, jika dikaji secara Ilmiah buah sangat bermanfaat bagi kesehatan. Dalam
Bhagawadgita XIV.6,9,11 disebutkan ada tiga golongan atau sifat makanan menurut ajaran
Weda yaitu makanan Satwika, Rajasika dan Tamasika. Makanan Satwika adalah segala
jenis makanan yang meningkatkan kecenderungan manusia menjadi suci, cerah, tenang,
bebas dari dosa. Yang termasuk makanan ini adalah Sayuran, Buah-buahan, susu, dan lainlain.
3. Api
Dalam persembahyangan Api itu diwujudkan dengan :
Dupa yaitu api dengan nyala serta asap yang kecil tetapi jelas. Tergolong dalam
ini adalah peasepan dan sejenisnya. Biasanya dicampur dengan wewangian
sehingga memberikan aroma yang dapat menenangkan pikiran.
Dipa adalah api dengan nyala yang memancarkan sinar cahaya yang terang.
Misalnya, Padipan, api takep, api dari lilin, lampu dan sejenisnya.
Obor yaitu api dengan nyala yang bsar berkobar-kobar. Termasuk jenis ini adalah
obor, perakpak, tombrog (obor dari bambu), api tetimpug, dll.
4
Dhupa dengan nyala apinya lambang Dewa Agni yang berfungsi :
a. Sebagai pendeta pemimpin upacara
b. Sebagai perantara yang menghubungkan antara pemuja dengan yang dipuja
c. Sebagai pembasmi segala kotoran dan pengusir roh jahat
d. Sebagai saksi upacara dalam kehidupan.
Jika hubungkan antara sumber-sumber kitab suci tentang penggunaan api sebagai
sarana persembahyangan dan sarana upacara keagamaan lainnya, memang benar, sudah
searah meskipun dalam bentuk yang berbeda. Di sinilah letak keluwesan ajaran Hindu
yang tidak kaku itu, pada bentuk penampilannya tetapi yang diutamakan dalam Agama
Hindu adalah masalah isi dalam bentuk arah, azas harus tetap konsisten dengan isi kitab
suci Weda. Karena itu merubah bentuk penampilan agama sesuai dengan pertumbuhan
zaman tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Ia harus mematuhi ketentuan-ketentuan
Sastra Dresta dan Loka Drsta atau : Desa, Kala, Patra dan Guna.
4. Air
Air merupakan sarana persembahyangan yang penting. Ada dua jenis air yang
dipakai dalam persembahyangan yaitu : Pertama, air untuk membersihkan tubuh, minum,
dll. Kedua air suci yang disebut Tirtha. Tirtha ini pun ada dua macamnya yaitu tirtha yang
didapat dengan memohon kepada Sang Hyang Widhi dan manifestasiNya yang disebut
Wangsuhpada, dan Tirtha dibuat oleh Pendeta dengan puja. Tirtha berfungsi untuk
membersihkan diri dari kekotoran maupun kecemaran pikiran. Adapun pemakaiannya
adalah dipercikkan di kepala, diminum dan diusapkan pada muka, simbolis pembersihan
bayu, sabda, dan idep. Tirtha bukanlah air biasa, tirtha adalah benda materi yang sakral
dan mampu menumbuhkan persanaan, pikiran yang suci. Untuk asal usul kata Tirtha
sesungguhnya berasal dari bahasa Sansekertha.
Macam-macam Tirtha untuk melakukan persembahyangan ada dua jenis yaitu tirtha
pembersihan dan tirtha wangsuhpada. Arti dan makna tirtha ditinjau dari segi
penggunaannya dapat dibedakan sebagai berikut :
a. Yang berfungsi sebagai penyucian terhadap tempat, bangunan-bangunan, alat-alat
upacara ataupun diri seseorang. Tirtha ini diperoleh dengan jalan puja mantra para
Pandita/Pinandita, misalnya tirtha penglukatan, tirtha pabersihan, prayascita, byakaon,
pasupati, tirtha pemlaspas, dsb.
b. Yang berfungsi sebagai penyelesaian dalam upacara persembahyangan. Umumnya
tirtha ini dimohonkan di suatu pelinggih utama pada suatu pura atau tempat yang
dianggap suci. Tirtha ini sering disebut dengan tirtha wangsuhpada.
c. Yang berfungsi sebagai penyelesaian upacara kematian, misalnya: tirtha penembak,
pangentas, pralina, dan tirtha pemanah.
5
5. Bija (Wija)
Mawija atau mabija dilakukan setelah usai mathirta, yang merupakan rangkaian
terakhir dan suatu upacara persembahyangan. Bija disebut juga Gandaksata, berasal dari
Ganda dan Aksata, artinya biji padi-padian yang utuh dan berbau wangi. Oleh karena itu
hendaknya menggunkan beras yang masih utuh, dicuci bersih, dicampur dengan wangiwangian.
Misalnya dicampur dengan air cendana dan bunga yang harum. Kadangkala juga
dicampur kunyit sehingga berwarna kuning, maka disebutlah bija kuning.
Wija atau bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada
hakekatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an yang bersemayam
dalam diri setiap orang. Mawija mengandung makna menumbuh-kembangkan benih
keSiwa-an atau sifat-sifat kedewataan dalam diri seseorang. Benih itu akan bisa tumbuh
dan berkembang apabila ladangnya bersih dan suci, maka itu mawija dilakukan setelah
Mathirta.
Untuk tumbuh dan berkembangnya sifat kedewataan itu dalam pikiran dari hati
manusia maka tempat Mawija itu yang terpenting di dua tempat, yaitu: pada pikiran dari
hati itu sendiri, masing-masing dengan cara menempelkan di tengah-tengah kedua kening
dan dengan menelannya.
Berikut ini adalah tulisan tentang rangkuman pada buku arti dan fungsi sarana upakara.

Salah satu bentuk pengamalan beragama Hindu adalah berbhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Disamping itu pelaksanaan agama juga di laksanakan dengan Karma dan Jnyana. Bhakti, Karma dan Jnyana Marga dapat dibedakan dalam pengertian saja, namun dalam pengamalannya ketiga hal itu luluh menjadi satu. Upacara dilangsungkan dengan penuh rasa bhakti, tulus dan ikhlas. Untuk itu umat bekerja mengorbankan tenaga, biaya, waktu dan itupun dilakukan dengan penuh keikhlasan.
Untuk melaksanakan upacara dalam kitab suci sudah ada sastra-sastranya yang dalam kitab agama disebut Yadnya Widhi yang artinya peraturan-peraturan beryadnya. Puncak dari Karma dan Jnyana adalah Bhakti atau penyeraha diri. Segala kerja yang kita lakukan pada akhirnya kita persembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan cara seperti itulah Karma dan Jnyana Marga akan mempunyai nilai yang tinggi.
Kegiatan upacara ini banyak menggunakan simbul-simbul atau sarana. Simbul - simbul itu semuanya penuh arti sesuai dengan fungsinya masing-masing. Berbhakti pada Tuhan dalam ajaran Hindu ada dua tahapan, yaitu pemahaman agama dan pertumbuhan rokhaninya belum begitu maju, dapat menggunakan cara Bhakti yang disebut ”Apara Bhakti”. Sedangkan bagi mereka yang telah maju dapat menempuh cara bhakti yang lebih tinggi yang disebut ”Para Bhakti”.
Apara Bhakti adalah bhakti yang masih banyak membutuhkan simbul-simbul dari benda-benda tertentu. Sarana-sarana tersebut merupakan visualisasi dari ajaran-ajaran agama yang tercantum dalam kitab suci. Menurut Bhagavadgita IX, 26 ada disebutkan : sarana pokok yang wajib dipakai dasar untuk membuat persembahan antara lain:
-Pattram= daun-daunan,
-Puspam = bunga-bungaan,
-Phalam = buah-buahan,
-Toyam = air suci atau tirtha.

Dalam kitab-kitab yang lainnya disebutkan pula Api yang berwujud “dipa dan dhŭpa” merupakan sarana pokok juga dalam setiap upacara Agama Hindu. Dari unsur-unsur tersebut dibentuklah upakara atau sarana upacara yang telah berwujud tertentu dengan fungsi tertentu pula. Meskipun unsur sarana yang dipergunakan dalam membuat upakara adalah sama, namun bentuk-bentuk upakaranya adalah berbeda-beda dalam fungsi yang berbeda-beda pula namun mempunyai satu tujuan sebagai sarana untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Arti dan Fungsi Bunga
Arti bunga dalam Lontar Yadnya Prakerti disebutkan sebagai ”... sekare pinako katulusan pikayunan suci”. Artinya, bunga itu sebagai lambang ketulusikhlasan pikiran yang suci. Bunga sebagai unsur salah satu persembahyangan yang digunakan oleh Umat Hindu bukan dilakukan tanpa dasar kita suci.
Untuk fungsi bunga yang penting yaitu ada dua dalam upacara. Berfungsi sebagai simbul, Bunga diletakkan tersembul pada puncak cakupan kedua belah telapak tangan pada saat menyembah. Setelah selesai menyembah bunga tadi biasanya ditujukan di atas kepala atau disumpangkan di telinga. Dan fungsi lainnya yaitu bunga sebagai sarana persembahan, maka bunga itu dipakai untuk mengisi upakara atau sesajen yang akan dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa ataupun roh suci leluhur.
Dari Bunga, buah dan daun di Bali dibuat suatu bentuk sarana persembahyangan seperti : canang, kewangen, bhasma dan bija. Canang, kewangen, bhasma dan bija ini adalah sarana persembahyangan yang berasal dari unsur bunga, daun, buah dan air. Semua sarana persembahyangan tersebut memiliki arti dan makna yang dalam dan merupakan perwujudan dari Tatwa Agama Hindu. Adapun arti dari masing-masing sarana tersebut antara lain yaitu :

1. Canang
Canang ini merupakan upakara yang akan dipakai sarana persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Bhatara Bhatari leluhur. Unsur - unsur pokok daripada canang tersebut adalah:
a.              Porosan terdiri dari : pinang, kapur dibungkus dengan sirih.
Dalam lontar Yadnya Prakerti disebutkan : pinang, kapur dan sirih adalah lambang pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Murti.
b.              Plawa yaitu daun-daunan yang merupakan lambang tumbuhnya pikiran yang hening dan suci, seperti yang disebutkan dalam lontar Yadnya Prakerti.
c.              Bunga lambang keikhlasan
d.             Jejahitan, reringgitan dan tetuasan adalah lambang ketetapan dan kelanggengan pikiran.
e.              Urassari yaitu berbentuk garis silang yang menyerupai tampak dara yaitu bentuk sederhana dari pada hiasan Swastika, sehingga menjadi bentuk lingkaran Cakra setelah dihiasi.
2. Kewangen
Kewangen berasal dari bahasa Jawa Kuno, dari kata “Wangi” artinya harum. Kata wangi mendapat awalan “ka” dan akhiran “an” sehingga menjadi “kewangian”, lalu disandikan menjadi Kewangen, yang artinya keharuman. Dari arti kata kewangen ini sudah ada gambaran bagi kita tentang fungsi kewangen untuk mengharumkan nama Tuhan.
Arti dan makna unsur yang membentuk kewangen tersebut adalah Kewangen lambang ”Omkara”. Kewangen disamping sebagai sarana pokok dalam persembahyangan, juga dipergunakan dalam berbagai upacara Pancayadnya. Kewangen sebagai salah satu sarana penting untuk melengkapi banten pedagingan untuk mendasari suatu bangunan.
Demikian pula dalam upacara Pitra Yadnya, ketika dilangsungkan upacara memandikan mayat, kewangen diletakkan di setiap persendian orang meninggal yang jumlahnya sampai 22 buah kewangen, dimana fungsi kewangen disini adalah sebagai lambang Pancadatu (lambang unsur-unsur alam) sendang fungsi Kawangen dalam upacara memandikan mayat sebagai pengurip-urip.

3        Bunga sebagai Lambang,
a. Bunga lambang restu dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa
b. Bunga lambang jiwa dan alam pikiran.
c. Bunga yang baik untuk sarana keagamaan.

Arti dan Fungsi Api Dhupa dan Dipa
Dalam persembahyangan Api itu diwujudkan dengan : Dhupa dan Dipa. Dhupa adalah sejenis harum-haruman yang dibbakar sehingga berasap dan berbau harum. Dhupa dengan nyala apinya lambang Dewa Agni yang berfungsi :
1. Sebagai pendeta pemimpin upacara
2. Sebagai perantara yang menghubungkan antara pemuja dengan yang dipuja
3. Sebagai pembasmi segala kotoran dan pengusir roh jahat
4. Sebagai saksi upacara dalam kehidupan.
Kalau kita hubungkan antara sumber-sumber kitab suci tentang penggunaan api sebagai sarana persembahyangan dan sarana upacara keagamaan lainnya, memang benar, sudah searah meskipun dalam bentuk yang berbeda. Disinilah letak keluwesan ajaran Hindu yang tidak kaku itu, pada bentuk penampilannya tetapi yang diutamakan dalam agama Hindu adalah masalah isi dalam bentuk arah, azas harus tetap konsisten dengan isi kitab suci Weda. Karena itu merubah bentuk penampilan agama sesuai dengan pertumbuhan zaman tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Ia harus mematuhi ketentuan-ketentuan sastra dresta dan loka drsta atau : desa, kala, patra dan guna.

Arti dan Fungsi Tirtha
Air merupakan sarana persembahyangan yang penting. Ada dua jenis air yang dipakai dalam persembahyangan yaitu : Air untuk membersihkan mulut dan tangan, kedua air suci yang disebut Tirtha. Tirtha inipun ada dua macamnya yaitu: tirtha yang di dapat dengan memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan Bhatara-bhatari dan Tirtha dibuat oleh pendeta dengan puja.
Tirtha berfungsi untuk membersihkan diri dari kekotoran maupun kecemaran pikiran. Adapun pemakaiannya adalah dipercikkan di kepala, diminum dan diusapkan pada muka, simbolis pembersihan bayu, sabda, dan idep. Selain sarana itu, biasanya dilengkapi juga dengan bija, dan bhasma yang disebut gandhaksta.
Tirtha bukanlah air biasa, tirtha adalah benda materi yang sakral dan mampu menumbuhkan persanaan, pikiran yang suci. Untuk asal usul kata Tirtha sesungguhnya berasal dari bahasa Sansekertha. Macam - macam Tirtha untuk melakukan persembahyangan ada dua jenis yaitu tirtha pembersihan dan tirtha wangsuhpada. Arti dan makna tirtha ditinjau dari segi penggunaannya dapat dibedakan sebagai berikut :
a. Tirtha berfungsi sebagai lambang penyucian dan pembersihan
b. Tirtha berfungsi sebagai pengurip / penciptaan.
c. Tirtha berfungsi sebagai pemeliharaan
Dalam Rg Weda I, bagian kedua sukta 5, mantra 2 dan 5 dijelaskan Dewa Indra sebagai pemberi air soma yang merupakan air suci. Mantra adalah Weda, sehingga kitab Catur Weda disebut kitab Mantra, karena tersusun dalam bentuk syair-syair pujaan. Mantra itu banyak macam dan ragamnya, ada mantra yang hanya terdiri dari dua, tida atau lima suku kata seperti: Om Ang Ah, Ang Ung Mang, Sang Bang Tang Ang Ing dan sebagainya. Mantra juga disebut ”Bija Mantra”. Suku kata yang demikian itu dianggap mengandung sakti, disebut ”Wijaksara”.
Mantra yang digunakan sebagai pengantar upacara disebut : Brahma. Nama ini kemudian digunakan untuk menyebutkan, Ia yang maha kuasa. Mantra yang ditujukan kepada Tuhan dalam salah satu manifestasinya disebut ”Stawa” misalnya ”Siwastawa, Barunastawa, Wisnustawa, Durghastawa, dan sebagainya.
Mantra pada umumnya memakai lagu dan irama, sehingga mantra juga disebut ”Stotra”. Dalam sekian banyak mantra, contoh dua buah mantra yaitu mantra ”Puja Trisandhya” dan mantra ”Apsudewastawa” dapat diambil kesimpulan bahwa mantra adalah sebagai sarana persembahyangan yang berwujud bukan benda (non material) yang harus diucapkan dengan penuh keyakinan. Tanpa keyakinan semua sarana persembahyangan itu akan sia-sia, untuk dapat menghubungkan diri dengan yang dipuja.


1 komentar: